Petani Pundenrejo Pati Gelar Aksi Tolak Perampasan Kembali Lahan Pertanian oleh PT LPI
Pati, NU Online
Para petani Pundenrejo, Tayu, Pati, Jawa Tengah menggelar aksi di Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN) Pati dan menuntut lahan pertanian yang selama ini dikelola turun-menurun agar dikembalikan kepada mereka.
Aksi ini sekaligus untuk menolak perampasan kembali lahan pertanian mereka yang dilakukan oleh PT Laju Perdana Indah (LPI) atau Pabrik Gula (PG) Pakis Tayu yang kembali melakukan permohonan hak pakai.
Aksi ini digelar secara berantai dari Kantor DPRD Pati, dilanjutkan ke Kantor Bupati Pati dan berakhir di Kantor BPN Pati. Aksi dimulai pukul 08.00 WIB hingga sore, pada Senin (10/2/2025) yang berakhir dengan pelarangan pendirian tenda juang para petani Pundenrejo oleh pihak BPN.
Perwakilan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Dhika, mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan rentetan dari aksi yang digelar oleh para petani Pundenrejo untuk menuntut hak mereka.
Tanah garapan nenek moyang mereka dirampas oleh PT LPI yang merupakan anak perusahaan dari Salim Grup yang saat ini diduga terlibat dalam skandal Hak Guna Bangunan (HGB) di atas laut dan kasus Pantai Indah Kapuk (PIK) 2.
“Kemudian ada tenda juang yang didirikan oleh para petani Pundenrejo, kemudian gamelan dan lain sebagainya. Itu merupakan bentuk kekecewaan para petani Pundenrejo di mana pihak BPN Pati yang mempunyai kewenangan untuk menolak permohonan PT LPI tidak kunjung mengeluarkan keputusan konkret, sehingga para petani akan memutuskan untuk terus ada di sini sampai tuntutan mereka terkabulkan,” terangnya saat diwawancarai langsung oleh NU Online di sela-sela aksi para petani Pundenrejo di Kantor BPN Pati, pada Senin (10/2/2025).
Ia menilai kepala BPN tidak mempunyai rasa keadilan dan masih melihat bukti-bukti formal. Padahal selama ini para petani Pundenrejo mempunyai bukti yang kuat yakni tanah tersebut merupakan tanah garapan leluhur atau nenek moyang mereka. Berdasarkan UUD 1945 pasal 3 ayat 3, seharusnya lahan pertanian tersebut bisa kembali dikelola dan dimanfaatkan rakyat.
Dhika kembali menegaskan, saat ini PT LPI sudah tidak mempunyai hak apa pun terhadap lahan pertanian di Desa Pundenrejo. Permohonan hak pakai yang diajukan oleh PT LPI ini mengindikasikan bahwa mereka ingin merampas kembali lahan tersebut.
“Hak prioritas selama ini digunakan oleh BPN untuk seakan-akan membela PT LPI, bahwa PT LPI masih mempunyai hak prioritas di atas tanah itu. Padahal hak prioritas itu sudah jelas-jelas tidak berlaku, karena hak yang diajukan saat ini berbeda dengan sebelumnya. Sebelumnya HGB, sekarang (hak) pakai,” ujarnya.
“Hak prioritas itu akan berlaku ketika PT LPI itu menggunakan tanah tersebut sebagai mana mestinya. Namun sepanjang PT LPI memegang HGB mereka menyalahgunakan. Sangat disayangkan BPN tidak menegur, tidak melakukan pencabutan (izin) padahal itu menjadi kewenangan kemeterian ATR BPN. Harapannya petani terus berjuang dan tuntutannya terkabul,” lanjutnya.
Secara tegas, ia mewakili massa aksi menuntut penolakan permohonan hak pakai PT LPI atas lahan pertanian di Desa Pundenrejo. Tuntutannya berupa pemberian hak pengelolaan lahan kembali kepada para petani Pundenrejo.
Pada September 2024, saat HGB PT LPI telah habis dan masyarakat hendak kembali mengelola lahan pertaniannya, PT LPI menggunakan jasa untuk mengintimidasi masyarakat.
“Di tahun 2020 juga, PT LPI melakukan hal yang sama dengan melakukan perampasan yang didampingi. Ironisnya didampingi aparat kepolisian dan militer,” paparnya.
Dalam negosiasi aksi demonstrasi yang terjadi di halaman Kantor BPN Pati, perwakilan Jaringan Solidaritas Petani Pundenrejo, Yitno mengungkapkan aksi demonstrasi para petani Pundenrejo ini untuk menuntut audiensi dari berbagai pihak. Hal ini pernah dijanjikan oleh BPN tapi tidak terlaksana, sehingga para petani Pundenrejo mengingatkan dengan adanya aksi ini. Hal serupa juga terjadi di DPRD.
“Sehingga wajar ketika masyarakat meminta konfirmasi agar ada kejelasan dari pihak-pihak terkait yang punya kewenangan kebijakan,” jelasnya.
Ia menyayangkan pihak BPN yang tidak kunjung memberikan kepastian tekait nasib lahan pertanian di atas. Bahkan mengeluarkan pernyataan yang cenderung membenturkan petani Pundenrejo dengan PT LPI. Ia juga berharap kepada pemangku kewenangan untuk tidak memosisikan rakyat pada pihak yang lemah.
“Tapi tolonglah sesekali dari pihak BPN itu memosisikan para petani ini menjadi raja. Di mana yang bisa menghidupi ketahanan pangan. Kalau tidak ada petani mau makan apa? Saya berdiri di sini di tengah-tengah di antara masyarakat yang pada waktu itu saya mengikuti audiensi di DPRD maupun di BPN sini. Sampai sekarang, apa yang dijanjikan DPRD dan BPN tidak kunjung juga,” jelasnya.
Perwakilan dari Sedulur Sikep, Gun Retno menambahkan, tidak ada salahnya BPN memberikan kembali rakyat hak untuk mengelola lahan sengketa di atas. Menurutnya, tanah tidak dibawa mati.
BPN Pati punya kewenangan total untuk menangani kasus sengketa lahan pertanian ini, meskipun kasus ini juga dilimpahkan ke Komnas HAM dan DPR RI. Ia berharap BPN mengabulkan tuntutan rakyat.
“Menurut saya, tanah 7,3 hektar untuk lebih dari seratus orang juga tidak banyak. Anda (pihak BPN) juga sudah tahu sejarahnya. Tapi bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebaiknya ditujukan untuk rakyat kecil,” tegasnya.
Ia menilai apabila kasus sengketa ini tidak segera diselesaikan, bisa dipastikan BPN memihak pihak korporat. Menurut Gun Retno, ia diberi pesan dari leluhurnya bahwa ia harus punya kepekaan terhadap masalah ketidakadilan sosial.
“Maka di mana ada ketidakadilan, sedulur Sikep akan hadir di sana,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan (BPN) Pati, Jaka Pramono mengungkapkan bahwa sengketa lahan pertanian merupakan masalah yang tidak sederhana. Ia mengklaim tidak memihak para petani Pundenrejo maupun PT LPI.
“Yang bisa menyelesaikan ini semua bukan saya sendiri. Tapi ada pihak-pihak lain. Saya terima hari ini apa yang menjadi aspirasi kalian semua,” terangnya saat menemui massa aksi para petani Pundenrejo di halaman Kantor BPN Pati.
Ia mengaku siap buka-bukaan terkait sengketa tanah di atas di Gedung DPRD Pati. Ia berencana akan berkoordinasi dengan DPRD Pati untuk menggelar audiensi antara para petani Pundenrejo, PT LPI, BPN, dan Forkopimda.
“Nanti kita agendakan di DPRD sama-sama, nanti kita bahas terbuka,” tuturnya.
Jaka mengatakan, sengketa lahan merupakan bahaya laten. Pihaknya sedang mengusahakan pendekatan solusi yang aman bagi semua. Ia mengatakan persoalan pertanahan tidak bisa selesai dalam waktu singkat.
“Sekarang ini lembaga kami sedang dibombardir. Bahayanya (sengketa lahan) juga laten. Semua pihak bisa berkeberatan,” terangnya.
Selanjutnya, ia melarang para peserta aksi untuk mendirikan tenda juang dan bermukim di halaman Kantor BPN Pati. Menurutnya kantor punya mekanisme waktu buka tutup serta di dalamnya terdapat dokumen-dokumen penting.
“Saya tidak ingin kalau ada persoalan yang memanfaatkan situasi. Itu motor dan mobil bukan milik saya. Saya tidak ijinkan itu mendirikan tenda di situ. Karena itu bisa mengganggu situasi kantor kita. Kantor kami setengah lima (16.30 WIB) tutup," tegasnya.
Jaka mengungkapkan, ada tiga hasil yang mungkin diputuskan oleh BPN Pati terkait permohanan hak pakai PT LPI. Di antaranya bisa dikabulkan, ditunda, atau ditolak. Ia berkilah saat ditanyai massa aksi terkait landasan dari pihak para petani untuk menolak permohonan hak pakai lahan kurang kuat.
Ia menyatakan bahwa pihak LPI juga punya persyaratan formal yang cukup sehingga tidak bisa secara serta merta ditolak. Ada mekanisme yang harus dilalui.
“Kalau ditolak, alasannya apa, (syarat) formilnya cukup,” ungkapnya..
Komentar
Posting Komentar