Munas NU 2025 Tegaskan Hukum Melibatkan Diri dalam Konflik Negara Lain, dari Fardhu Kifayah hingga Haram - NU Online

  

Munas NU 2025 Tegaskan Hukum Melibatkan Diri dalam Konflik Negara Lain, dari Fardhu Kifayah hingga Haram

Jakarta, NU Online

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama 2025 pada Rabu sampai Jumat (5-7/2/2025) di Hotel Sultan Jakarta.


Kegiatan ini merupakan forum tertinggi setelah Muktamar yang membahas sejumlah masalah keagamaan yang menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan. Acara ini dibagi ke dalam tiga komisi, yakni (1) waqi'iyah, (2) maudluiyah, dan (3) qanuniyah.


Ketua Komisi Bahtsul Masail Waqi'iyah KH Muhammad Cholil Nafis menyampaikan bahwa forum yang dipimpinnya telah membahas dua masalah, yakni (1) pelibatan diri dalam konflik negara lain dan (2) penyembelihan dan pendistribusian dam haji tamattu'.


Terkait masalah pertama, Kiai Cholil Nafis menjelaskan bahwa melibatkan diri pada konflik di negara lain dengan memberikan bantuan adalah fardhu kifayah. Bantuan itu dapat berwujud obat-obatan atau pun kebutuhan pangan.


"Kita memberikan bantuan di negara konflik adalah fardhu kifayah. Boleh dan hukumnya fardhu kifayah, artinya kewajiban kolektif di antara kita," ujar Pengasuh Pondok Pesantren Cendekia Amanah itu memaparkan pembahasan bahtsul masail.


Lebih lanjut, Kiai Cholil juga menjelaskan bahwa hal tersebut harus mengikuti mekanisme hukum antarnegara sehingga tanpa seizin negara itu haram. Jika tanpa izin negaranya, hal tersebut akan menambah fitnah dan kerusakan. Adapun melibatkan diri dalam bentuk ikut perang hukumnya haram.


Adapun persoalan kedua berkenaan dam haji tamattu. Menurutnya, ada tiga runtutan hukum dalam hal ini. Pertama, ikhtiar normal dam disembelih dan dibagikan di Tanah Haram. Kedua, dam wajib disembelih di Tanah Haram selama masih bisa. Namun karena ada kebutuhan, boleh didistribusikan di luar Haram.


Ketiga, ketika terjadi ketidakmampuan pengelolannya karena Rumah Pemotongan Hewan (RPH), berkenaan dengan penyembelihannya, mendatangkan kambing, itu boleh disembelih dan didistribusikan di luar Tanah Haram dan distribusikan di luar Tanah Haram.


"Tapi kondisi mudarat seperti ini itu harus atas keputusan imam, negara. Negaralah yang memberikan kondisi ini," jelas Rais Syuriyah PBNU itu.


Penyembelihan dan distribusi dam di luar Tanah Haram ini merupakan jalan keluar ketika memang dam diputuskan tidak boleh diganti dengan uang, di Tanah Haram pun tidak ada kambingnya, RPH tidak ada, dan uzur lainnya. Misalnya, penyembelihan di Indonesia atau di Turki.


"Yang menentukan tidak mampu atau tidak ideal ini adalah imam. Di sini adalah keputusan negara. Negara bisa dua belah pihak, Arab Saudi dan Indonesia," katanya.


Sebab, mengutip sebuah teori, ia menegaskan bahwa hukum yang ditetapkan imam atau negara adalah menghapus segala perselisihan.


Di samping itu, Komisi Waqi'iyah juga tengah membahas persoalan lain, seperti sertifikasi dan kepemilikan tanah di laut; perdagangan karbon (carbon trading); properti tidak bergerak yang dibisniskan di atas tanah wakaf; dan dinamika zakat uang.


"Yang dua (awal) nunggu di pleno saja. Tapi yang empat (terakhir) berikutnya akan dibahas setelah Dzuhur ini," pungkasnya.


Sementara itu, Komisi Maudluiyah membahas enam masalah, yakni (1) Murur dan tanazul tanpa mabit; (2) Mabit di Muzdalifah dan Mina antara ta'abbudi dan ta'aqquli; (3) Problematika pajak dalam Islam; (4) Fiqih filantropi; (5) Baiat sebagai kontrak sosial politik; dan (6) Hak dan kewajiban muslim di negara non-Muslim.


Adapun Komisi Qanuniyah akan membahas tiga persoalan, yakni (1) pengendalian minuman beralkohol; (2) problematika pencatatan perkawinan; dan (3) pembatasan larangan penggunaan media sosial bagi anak-anak.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga