Kultum Ramadhan: Pentingnya Mengendalikan Amarah - NU Online

 

Kultum Ramadhan: Pentingnya Mengendalikan Amarah

Bulan Ramadhan adalah madrasah tempat hati kita menjalani pendidikan. Bulan yang kembali mengingatkan kita dalam kesadaran. Setelah berbulan-bulan kita hidup dalam lingkaran rutinitas yang berulang, kita menjadi orang yang tidak pernah mengingatkan diri kita sendiri, apalagi menasihatinya.

 

Bulan Ramadhan adalah kesempatan kita untuk mulai menasihati diri kita sendiri. Di bulan inilah kita harus melakukan dialog internal dengan diri kita sendiri agar puasa kita tidak hanya “numpang lewat” tanpa meninggalkan jejak yang berarti. 


Salah satu hal yang perlu kita latih selama bulan Ramadhan adalah mengendalikan amarah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Sayyidina Musa ‘alaihissalam:


يَا مُوسَى بْنَ عِمْرَانَ أَتَدْرِي مَنْ أَقْرَبُ خَلْقِي إِلَيَّ كُلُّ مُؤْمِنٍ لَا يَلْعَنُ إِذَا غَضِبَ


Artinya, “Wahai Musa bin ‘Imran, tahukah kau siapa yang paling dekat dengan-Ku di antara makhluk-Ku? (Mereka adalah) setiap mukmin yang tidak melaknat ketika marah.” (Imam Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah al-Auliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’ [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2014] juz 6, hal. 17).


Hadits qudsi di atas menunjukkan bahwa orang yang paling dekat dengan Allah adalah orang-orang beriman yang tidak melaknat saat marah. Keterangan tersebut berbeda dengan hadits yang mengatakan, “lâ taghdlab!” (jangan marah) yang menitik beratkan pada aspek preventif (pencegahan). Sedangkan riwayat di atas lebih kepada aspek “sedang” atau “mengalami” kemarahan. Dengan demikian, riwayat di atas mengajarkan bahwa saat marah, seseorang sebaiknya menahan diri dari melaknat, mengutuk, atau menghardik orang lain.


Hanya saja mengamalkan hal tersebut tidaklah mudah. Untuk bisa melakukannya dibutuhkan kesadaran emosi (emotional awareness) yang baik. Tanpa itu, akan sangat susah melakukannya. Karena manusia cenderung menghardik, melaknat dan memaki saat dia sedang marah.


Dengan kata lain, orang yang marah menjadi asing dengan gerak emosi dalam dirinya. Dia cenderung membiarkannya berada di luar kendali dirinya. Kontrolnya terhadap kesadaran emosinya terlepas karena didominasi oleh amarahnya.


Oleh karena itu, Allah mengingatkan Sayyidina Musa ‘alaihissalam bahwa orang yang paling dekat dengan-Nya adalah orang mukmin yang saat marah dia tidak melaknat. 


Itu artinya manusia harus memiliki kendali atas kesadaran emosinya. Semarah apa pun dia dengan sesuatu, dia tidak akan melepaskan kesadaran emosinya. Sehingga dalam amarahnya, dia masih bisa menahan diri dari melakukan sesuatu yang merugikan dirinya dan orang lain.


Jika menggunakan bahasa agama, terlepasnya kendali kita terhadap emosi kita bisa memberi ruang pada setan untuk masuk. Dan setan memiliki seperangkat kecanggihan godaan yang luar biasa. Dalam sebuah riwayat dikatakan:


عَنْ خَيْثَمَةَ قَالَ: كَانُوا يَقُولُونَ: إِنَّ الشَّيْطَانَ يَقُولُ: كَيْفَ يَغْلِبُنِي ابْنُ آدَمَ؟ إِذَا رَضِيَ حَبَبْتُ حتي أكون فِي قَلْبِهِ، وَإِذَا غَضِبَ طِرْتُ حَتَّى أَكُونَ فِي رَأْسِهِ


Artinya, Dari Khaitsamah, dia berkata: Mereka berkata: “Sesungguhnya setan berkata: 'Bagaimana mungkin anak Adam (manusia) bisa mengalahkanku? Saat mereka ridha/puas aku senang hingga berada di hatinya, dan saat mereka marah aku terbang hingga berada di kepalanya'.” (Imam Abu Bakar Ahmad bin al-Husein al-Baihaqi, al-Jâmi’ li Syu’ab al-Imân [Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2003] juz. 10, hal. 532).


Bahkan dalam keadaan tenang, puas atau ridha sekali pun, setan tidak menutup peluang untuk melancarkan godaannya. Mereka selalu siap membisikkan dan membolak-balikkan hati manusia dengan serangkaian pendekatan yang rapi dan sangat terukur.


Misalnya orang yang tenang dan selalu dalam ketaatan. Setan akan mendekatinya dengan menyalakan api kesombongan di hatinya. Amal-amal yang dilakukan orang tersebut, dengan godaan setan bisa mengarah pada perasaan, ‘aku lebih baik dari dia atau mereka’.


Atau setan bisa memperhalusnya agar orang tersebut tidak berkembang menjadi lebih baik dari waktu ke waktu karena dia sudah merasa dirinya baik, dan dia puas akan hal itu, sehingga dia tidak berusaha untuk meningkatkan kebaikan dan kualitas dirinya setiap saat.


Apalagi jika orang tersebut dalam keadaan marah, setan akan lebih mudah bermain-main di kepalanya agar dia kehilangan kendali atas emosinya. Karena itu Imam Ja’far bin Muhammad mengatakan:


الغَضَبُ مِفْتَاحُ كُلّ شَرٍّ


Artinya, “Marah itu kunci segala keburukan.” (Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam [Kairo: Dar al-Salam, 2004] juz 1, hal. 103)


Marah menjadi kunci segala keburukan karena mudah ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan setan. Hal ini terjadi karena orang yang marah kehilangan kendali atas emosi dan akalnya.


Oleh karena itu, wahyu yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Sayyidina Musa dimaksudkan agar manusia tetap dapat menggunakan kesadarannya saat marah. Dengan tujuan amarahnya tidak mewujud dalam bentuk ucapan apalagi perilaku.


Dengan demikian, orang yang berhasil untuk tetap sadar saat emosinya goyah (marah), dia adalah orang yang paling dekat dengan Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana firman-Nya kepada Sayyidina Musa ‘alaihissalam.


Kita semua paham bahwa melaknat, memaki atau mengutuk merupakan ekspresi marah yang paling umum, tapi marah juga bisa mewujud dalam bentuk tindakan yang lebih berbahaya seperti memukul dan membunuh. Jika mengacu pada hal tersebut, maka pantas saja jika marah dipandang sebagai kunci segala keburukan.


Maka dari itu, dengan puasa yang kita lakukan sebulan penuh, kita harus menggunakannya sebagai ruang berlatih diri, yaitu membawa pengendalian diri yang bersifat jasadi (fisik) seperti menahan lapar, haus dan tidak berhubungan badan dalam batas waktu tertentu, ke dalam pengendalian diri yang bersifat ruhani seperti mengendalikan amarah, tidak takabur dan lain sebagainya. Sehingga puasa kita menjadikan kita pribadi yang lebih matang dan lebih baik setiap waktunya.


Sebagai penutup, riwayat Dzul-Qarnain yang mendapatkan ilmu dari malaikat tentang pengendalian amarah perlu kita jadikan renungan bersama.


وعن ذي القرنين أنه لقي ملكاً من الملائكة فقال: علمني علماً أزداد به إيماناً ويقيناً، قال: لا تغضب فإن الشيطان أقدر ما يكون على ابن آدم حين يغضب، فرد الغضب بالكظم، وسكنه بالتؤدة.


Artinya, “Diriwayatkan bahwa Dzul-Qarnain bertemu dengan salah satu malaikat, kemudian dia berkata: 'Ajari aku ilmu yang bisa meningkatkan iman dan keyakinanku.' Malaikat itu menjawab: 'Jangan marah, karena setan paling berkuasa atas anak Adam (manusia) saat dia marah. Lawanlah amarah dengan pengendalian diri dan tenangkanlah amarah dengan sikap waspada'.” (Imam Abu Hamid al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn [Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2016] juz 3, hal. 203).


Puasa Ramadhan sejatinya menjadi momen latihan pengendalian diri secara utuh, baik secara fisik maupun emosional. Menahan lapar dan dahaga hanyalah gerbang awal menuju pengendalian hawa nafsu yang lebih dalam. Jika kita mampu menahan lapar dan haus, bukankah seharusnya kita juga mampu menahan amarah yang lebih merusak? Pertanyaannya, bisakah kita melakukannya? Wallahu a’lam bish-shawwab


Ustadz Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga

  • Ijazah Amalan agar Rumah Menjadi Tenteram dan Jin Pengganggu akan Pergi dengan Damai tanpa Dendam | Amaliyah dari Ulama › LADUNI
    Ijazah Amalan agar Rumah Menjadi Tenteram dan Jin Pengganggu akan Pergi dengan…
  • Batasan Orang Disebut Mampu Berkurban - NU Online
     Batasan Orang Disebut Mampu Berkurbanislam.nu.or.idJune 19, 2023Kesunahan…
  • Suhu di Mina Capai 45°C, Begini Cara Kreatif Jemaah Ibu-ibu untuk Minimalisir Panas - Merdeka
     Suhu di Mina Capai 45°C, Begini Cara Kreatif Jemaah Ibu-ibu untuk…
  • Ragam Tradisi Tarawih di Masjid-Masjid Australia - NU Online
     Ragam Tradisi Tarawih di Masjid-Masjid AustraliaSydney, NU…
  • Hukum Shalat Sunnah Rebo Wekasan | Lidaf'il Bala › LADUNI
     Hukum Shalat Sunnah Rebo Wekasan | Lidaf'il Bala ›…