Bolehkah Menarik Kembali Pemberian yang Sudah Diberikan? Pandangan Mazhab Syafi'i dan Hanafi - NU Online

 

Bolehkah Menarik Kembali Pemberian yang Sudah Diberikan? Pandangan Mazhab Syafi'i dan Hanafi

Orang yang dengan hati lapang memberikan sebuah hadiah mahal kepada temannya sebagai bentuk apresiasi. Namun, beberapa waktu kemudian, hubungan mereka memburuk, dan ia merasa menyesal atas pemberian tersebut. Ia ingin meminta kembali hadiah itu. Tapi muncul keraguan, apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Bukankah hadiah yang telah diberikan menjadi hak milik penerima sepenuhnya?
 

Islam mengatur dengan sangat detail tentang pemberian (hibah), termasuk hukum meminta kembali barang yang telah diberikan. Dalam artikel ini, kita akan membahas bagaimana pandangan Mazhab Syafi'i yang melarang keras penarikan kembali hiba h,serta Mazhab Hanafi yang memberikan kelonggaran dengan syarat tertentu. Keduanya didasarkan pada dalil-dalil syar'i dan etika Islam yang mendalam.


Mazhab Syafi'i: Larangan Meminta Kembali Barang yang Sudah Diberikan

Menurut Mazhab Syafi'i, orang tidak diperbolehkan meminta kembali hibah yang telah diberikan kepada orang lain, baik kepada kerabat dekat maupun orang lainnya, setelah barang tersebut telah diserahkan (iqbadh). Pendapat ini didasarkan pada kaidah berikut:
 

فَأَمَّا إِذَا وَهَبَ لِغَيْرِ وَلَدِهِ، أَوْ وَلَدِ وَلَدِهِ، وَإِنْ سَفَلَ.. فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِي هِبَتِهِ لَهُ بَعْدَ إِقْبَاضِهِ لَهُ، سَوَاءً كَانَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ، أَوْ أَجْنَبِيًّا
 

Artinya, "Adapun jika ia memberikan hadiah (hibah) kepada selain anaknya, atau cucunya, meskipun lebih jauh (generasinya), maka tidak boleh baginya menarik kembali hadiah yang telah diberikannya setelah ia menyerahkannya, baik yang diberi itu adalah kerabat mahram maupun orang lain (nonmahram)".  (Al-‘Imrani, Al-Bayan, [Jeddah, Darul Minhaj:1421 H/2000 M], juz VIII, halaman 125). 
 

Dalil dari hadis Nabi saw adalah:
 

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: لَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يُعْطِيَ عَطِيَّةً، أَوْ يَهَبَ هِبَةً فَيَرْجِعَ فِيهَا، إِلَّا الْوَالِدُ فِيمَا أَعْطَى وَلَدَهُ. وَمِثْلُ الرَّاجِعِ فِي هِبَتِهِ كَمِثْلِ الْكَلْبِ قَاءَ بَعْدَ مَا شَبِعَ، ثُمَّ رَجَعَ فِي قَيْئِهِ
 

Artinya, "Sungguh Nabi saw bersabda: 'Tidak halal bagi seseorang memberikan hadiah atau hibah lalu menariknya kembali, kecuali seorang ayah terhadap apa yang ia berikan kepada anaknya. Perumpamaan orang yang menarik kembali hibahnya adalah seperti anjing yang muntah setelah kenyang, lalu ia kembali memakan muntahnya'." (Al-‘Imrani, VII/125).
 

Hadis ini menunjukkan bahwa meminta kembali hibah tidak diperbolehkan secara syar'i kecuali dalam konteks tertentu, yaitu orang tua terhadap anaknya. Mazhab Syafi’i memandang bahwa setelah serah terima, hibah menjadi hak penuh penerima, sehingga menarik kembali hibah dianggap bertentangan dengan etika dan hukum.
 

Mazhab Hanafi: Memungkinkan Meminta Kembali dengan Syarat

Berbeda dengan Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi membolehkan seseorang meminta kembali hibah, tetapi dengan syarat-syarat tertentu. Ketentuan ini dijelaskan dalam teks berikut:
 

وَإِذَا وَهَبَ هِبَةً لِأَجْنَبِيٍّ فَلَهُ الرُّجُوعُ فِيهَا إِلَّا أَنْ يُعَوِّضَهُ عَنْهَا أَوْ تَزِيدَ زِيَادَةً مُتَّصِلَةً أَوْ يَمُوتَ أَحَدُ الْمُتَعَاقِدَيْنِ أَوْ تَخْرُجَ الْهِبَةُ مِنْ مِلْكِ الْمَوْهُوبِ لَهُ وَإِنْ وَهَبَ هِبَةً لِذِي رَحِمٍ مَحْرَمٍ مِنْهُ فَلَا رُجُوعَ فِيهَا وَكَذَلِكَ مَا وَهَبَ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ لِآخَرَ
 

Artinya, "Dan apabila seseorang memberikan hadiah (hibah) kepada orang lain (nonmahram), maka ia boleh menarik kembali hibah tersebut, kecuali jika ia telah diberi imbalan atas hibah itu, atau terdapat tambahan yang menyatu (pada barang hibah), atau salah satu dari kedua pihak (yang berakad) meninggal dunia, atau hibah tersebut keluar dari kepemilikan penerima hibah.
 

Namun, apabila seseorang memberikan hibah kepada kerabat mahramnya, maka tidak boleh ada penarikan kembali hibah tersebut. Begitu pula halnya dengan hibah yang diberikan salah satu dari pasangan suami istri kepada pasangannya". (Al-Quduri, Mukhtashar Al-Quduri, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 1418 H/1997 M], halaman 124).
 

Dalil Mazhab Hanafi berdasarkan hadis Nabi saw:
 

الْوَاهِبُ أَحَقُّ بِهِبَتِهِ مَا لَمْ يُثَبْ مِنْهَا
 

Artinya, "Pemberi hibah lebih berhak terhadap hibahnya selama ia belum diberi imbalan atas hibah tersebut." (Ibnul Humam, Fathul Qadir, [Mesir, Mustafal Babi Halabi wa Auladuh: 1389 H/1970 M], juz IX, halaman 39).
 

Mazhab Hanafi memberikan ruang untuk menarik kembali hibah dengan syarat tertentu, namun menekankan bahwa hal ini makruh karena bertentangan dengan nilai-nilai kemurahan hati yang dianjurkan dalam Islam.
 

Penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Mazhab Syafi’i: melarangan secara tegas menarik kembali hibah setelah serah terima, kecuali dalam kasus hibah orang tua terhadap anaknya.
  2. Mazhab Hanafi: membolehkan penarikan hibah dengan syarat tertentu, tetapi tetap makruh dan tidak dianjurkan.
     

Dalam kehidupan sehari-hari, menjaga komitmen dalam pemberian merupakan akhlak mulia yang diajarkan Rasulullah saw. Meskipun ada kelonggaran dalam Mazhab Hanafi, sikap terbaik adalah memegang prinsip kemurahan hati dan tidak menarik kembali pemberian yang telah diserahkan. Wallahu a'lam.

Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga