Romadhon,
Kisah Dai Go Global Bawakan Khotbah dan Jumatan Singkat 12 Menit di Korsel

Di bawah langit Korea Selatan yang kelabu, aku duduk di ambang pintu mihrab masjid Al-Ihsan, Waegwan. Udara dingin merayap di kulitku, mengingatkanku bahwa musim dingin belum sepenuhnya pergi. Enam derajat celsius, begitu kata aplikasi pengukur suhu di HP memberitahu. Namun, dinginnya cuaca tak mampu mengalahkan kehangatan yang terpancar dari wajah-wajah jamaah yang mulai berdatangan.
Hari ini adalah hari keenam sejak kakiku pertama kali menginjak tanah Korea Selatan. Sebuah negeri yang terkenal dengan Shin Tae-yong dan drama Korea-nya, tapi aku menemukan diri berada di tengah-tengah komunitas Muslim yang beragam. Wajah-wajah dari berbagai penjuru dunia - Uzbekistan, Pakistan, Bangladesh, Afrika, Suriah, Yordania - berbaur dengan wajah-wajah familiar, yaitu wajah-wajah tetanggaku dari Indonesia.
Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 KST, aku mulai bersiap di tempat shalat persis di baris pertama, depan mihrab. Pikiranku mengingat pada waktu beberapa hari yang lalu saat aku berdiskusi dengan Ja’far Shadiq, seorang amir masjid yang membahas tentang mekanisme shalat Jumat di sini. Betapa berbedanya dengan di Indonesia, tanah kelahiranku yang diberkahi dengan waktu shalat Jumat yang leluasa.
Ingatan masa kecil berkelebat di benakku. Ayahku yang selalu menjaga ketepatan waktu shalat dengan jam dinding elektrik yang berbunyi 'teng-teng-teng' sesuai hitungan jam berapa, lonceng mesin jam itu berbunyi. Bahkan ada satu mushala di kampungku yang menyambungkan jam itu dengan speaker ‘Toa’ yang suara kencang sekali. Waktu itu, para orang tua tidak menggunakan teknologi baterai sebagaimana lazimnya jam yang beredar sekarang ini.
Jam yang dulu dipakai ayahku harus disesuaikan setiap lima hari sekali, bukan pula dengan Waktu Indonesia Barat, melainkan dengan waktu istiwa’ - waktu yang diukur berdasarkan posisi matahari tepat di atas kepala kami.
Di depan Masjid Baiturahim di desa Latak, Grobogan, Jawa Tengah, berdiri sebuah bencet – dengan struktur setinggi 75 cm, di atasnya terdapat besi menjulang 10 cm. Alat sederhana namun presisi ini menjadi acuan untuk menentukan waktu istiwa’. Ketika bayangan besi tepat lurus ke bawah, itulah tanda bahwa waktu telah menunjukkan pukul 12.00 waktu istiwa’. Jam masjid dan jam di rumahku menyesuaikan dengan penunjuk waktu seperti itu.
"Istiwa’," diserap dari kata Arab yang berarti 'lurus'. Sebuah konsep waktu yang begitu indah dan alamiah, mengingatkan kita akan keteraturan alam semesta ciptaan-Nya.
Namun, nostalgia itu harus kusingkirkan. Kenyataan di hadapanku jauh berbeda. Di Korea Selatan, negeri di mana Islam adalah minoritas, tepatnya pemeluk Islam di negeri ini hanya sekitar 0,38 persen dari 52 juta penduduk Korea. Tentu, waktu shalat Jumat menjadi sebuah tantangan tersendiri di sini. Perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik di sini tidak semuanya mudah memahami kebutuhan umat Muslim dalam menjalankan ibadahnya.
Kulirik NU Online Super App di atas sajadahku. Hari ini shalat Jumat dimulai Pukul 12.38 KST. Namun, jam istirahat sebagian besar pekerja hanya sampai pukul 13.00 atau ada yang hanya sampai pukul 12.50.
Bagaimana caranya agar shalat Jumat bisa terlaksana dengan mengejar waktu istirahat para pekerja? Pertanyaan ini berputar-putar di kepalaku, menantang kreativitas dan kebijaksanaan para penyelenggara shalat Jumat di masjid ini.
Adzan pertama berkumandang. Suara merdu Efendi, sang muadzin berdiri tepat di samping kananku mengalun di udara tanpa menunggu aba-aba. Tentu ia lebih tahu tradisi di masjid ini daripada aku yang baru kali pertama. Namun, jarum jam masih menunjukkan pukul 12.34 - masih ada 4 menit 30 detik sebelum masuk waktu Zuhur. Waktu yang menurutku masih cukup jauh untuk dianggap sebagai bagian dari prosesi shalat Jumat. Anggap saja, ini sebagai adzan panggilan, bukan azan Dzuhur. Begitu gumam hatiku.
Detik-detik berlalu dengan cepat. Para jamaah mulai bergerak, ada yang melaksanakan shalat sunah, ada pula yang langsung mengambil shaf. Aku memilih untuk melaksanakan shalat sunah mutlak karena kalau aku niatkan sebagai shalat sunnah qabliyah juga masih belum memungkinkan untuk melakukan itu.
Tepat pukul 12.39, aku naik ke atas mimbar. Waktu yang tersisa sangatlah sedikit. Khutbah yang kusampaikan harus singkat namun bermakna. Kupilih untuk berbicara tentang rahasia takwa, mengaitkannya dengan puasa yang sedang dijalani oleh umat Muslim saat ini.
"Ya ayyuhalladzina amanu kutiba 'alaikumus siyamu kama kutiba 'alalladzina min qablikum la'allakum tattaqun," aku membacakan ayat Al-Quran dengan lantang. "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."
Kujelaskan dengan singkat bagaimana puasa dapat menjadi kunci untuk meningkatkan ketakwaan. Ada orang yang mudah melaksanakan takwa, ada pula orang yang susah bertakwa, bahwa sesungguhnya ada rahasia pendorong itu semua. Puasa merupakan salah satu faktor yang menjadikan orang bertakwa.
Itu semua ku sampaikan secara ringkas dan padat. Aku tidak punya waktu untuk mengubah ke dalam bahasa Inggris atau Arab demi memenuhi kebutuhan aneka ragam jamaah karena sempitnya waktu yang tersedia.
Khutbah pertama dan kedua kusampaikan dengan cepat namun tidak tergesa dengan diselingi bacaan shalawat oleh muadzin di tengah duduk di antara dua khutbahku. Begitu muadzin selesai mengumandangkan iqamah, tanpa jeda, aku langsung memulai shalat dengan takbiratul ihram. Di rakaat pertama, kupilih Surah Al-Ikhlas, dan di rakaat kedua Surah An-Nas - surat-surat pendek yang menjadi favorit para jamaah.
Aku sebenarnya atas sabda Nabi yang menyatakan bahwa di antara kecerdasan seseorang adalah khutbahnya singkat, sedangkan shalatnya panjang. Khutbah singkat sudah berhasil aku laksanakan, tapi shalat panjang tampaknya tidak memungkinkan. Aku khawatir, jika shalat terlalu panjang kulakukan, saat aku salam, jamaah sudah hilang berhamburan.
Selesai salam, tanpa wiridan panjang, aku hanya membaca Al-Fatihah dan berdoa singkat. Kulirik jam di ponselku, aku berhasil menyelesaikan prosesi ini di waktu 12.50. Jika aku hitung, Jumatanku kali ini hanya membutuhkan waktu 12 menit sejak aku naik mimbar hingga selesai berdoa. Sebuah rekor baru dalam hidupku - shalat Jumat tercepat yang pernah kulakukan.
Sementara para jamaah bergegas kembali ke tempat kerja masing-masing, aku terdiam sejenak di mihrab. Pandanganku menyapu ruangan masjid yang kini mulai lengang. Wajah-wajah beragam yang tadi memenuhi shaf-shaf kini telah menghilang, kembali ke rutinitas mereka di negeri asing ini.
Pikiranku melayang pada konsep mukimin dan mustautin dalam fiqih. Bagaimana kita memaknai kewajiban shalat Jumat di tengah mobilitas tinggi masyarakat modern? Apakah cukup dengan kehadiran minimal tiga orang mukim untuk mengesahkan shalat Jumat bagi para musafir?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu sudah kujawab dengan ilmu fiqih yang aku pelajari. Namun, satu hal yang pasti: di sinilah letak kebijaksanaan pengelola masjid diuji. Bagaimana menjembatani antara ketaatan beragama dan realitas kehidupan, agar umat tidak putus asa dan justru malah meninggalkan kewajibannya.
Aku melangkah menuju ruang kamarku di salah satu sudut masjid, merasakan hembusan angin musim semi yang mulai menghangat. Di kejauhan, kulihat masih ada sisa sedikit jamaah yang tadi bersimpuh bersamaku kini melanjutkan shalat-shalat sunnahnya. Pemandangan ini menggetarkan hatiku. Betapa indah perjuangan mereka, meluangkan waktu di tengah kesibukan untuk memenuhi panggilan Ilahi.
Di negeri yang asing, di tengah budaya yang berbeda, mereka tetap teguh menjaga identitas keislamannya. Mungkin shalat Jumat kami hari ini terkesan terburu-buru. Namun, bukankah keikhlasan tidak diukur dari lamanya waktu, melainkan dari ketulusan hati? Toh, Allah Maha Mengetahui segala niat dan usaha hamba-Nya.
Sore harinya, kulangkahkan kaki menyusuri jalan-jalan Gyeongsangbuk-do yang tampak sepi. Di tengah hiruk-pikuk kota, kupanjatkan doa dalam hati. Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan pada kami, para musafir yang berusaha merajut iman di negeri asing ini. Dan semoga, kelak, pemahaman dan toleransi akan tumbuh di hati semua orang, sehingga tak ada lagi dilema antara kewajiban agama dan tuntutan pekerjaan.
Sebab pada akhirnya, bukankah keimanan sejati adalah yang mampu bersinar dalam segala situasi dan kondisi?
Komentar
Posting Komentar