Pidato Lengkap Gus Yahya di Pertemuan Densus 88: Bahas Radikalisme hingga Konsensus Internasional - NU Online
Pidato Lengkap Gus Yahya di Pertemuan Densus 88: Bahas Radikalisme hingga Konsensus Internasional

Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menyampaikan pidato kunci dalam acara Senior Level Meeting Densus Anti Teror 88, di Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025.
Berikut adalah salinan lengkap pidato Gus Yahya dalam kesempatan tersebut.
***
Assalāmualaikum warahmatullāhi wabarakātuh.
Alhamdulillāh wa syukrulillāh, was shalātu was salāmu alā Rasūlillah Sayyidina wa Maulānā Muhammad ibni Abdillāh, wa 'alā ālihii wa shahbihi wa man wālāh. Amma ba’ad.
Yang saya hormati Pak Kepala BNPT, Pak Edi Hartono. Yang saya hormati para pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih bersama kita di ruangan ini. Pak Sentot Kepala Densus masih menemani Pak Kapolri sekarang. Yang saya hormati, para tamu kolega kerja sama Polri, khususnya Densus 88 Anti Teror.
Terus terang, ada satu masa, dulu saya itu takut sama polisi, karena pernah punya trauma. Saya tidak perlu cerita traumanya seperti apa. Traumanya sebetulnya bukan kepada polisi di Indonesia – trauma kepada polisi luar negeri. Tapi saya sempat lalu takut sama polisi. Tapi pelan-pelan rasa takut itu makin hilang, karena saya melihat mulai ada polisi-polisi yang jadi kiai.
Dulu di Jawa Tengah itu ada mubaligh yang terkenal sekali, waktu itu. Namanya Kolonel Halilintar. Waktu itu masih pakai pangkat kolonel. Sekarang, misalnya, ada Wakapolri – yang hafal kitab kuning itu. Dan saya lihat Pak Kapolri lama-lama gesturnya makin mirip kiai juga, jadi makin lama makin terasa nyaman berkumpul dengan polisi-polisi ini.
Dan dengan Densus 88 Anti Teror ini juga ini bukan yang pertama kali. Sebelum ini, sekurang-kurangnya saya pernah terlibat dalam salah satu, mungkin, pertemuan – tingkatnya lebih rendah dari ini – di Solo pada waktu itu.
Pengalaman aktivisme counter radicalism
Saya sendiri, secara pribadi, juga terlibat dalam berbagai macam aktivisme counter radicalism, baik secara domestik maupun internasional, khususnya sejak saya mendapatkan tugas khusus dari pada waktu itu Rais ‘Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama almarhum KH Sahal Mahfudh untuk menangani berbagai macam kontak kerja sama Nahdlatul Ulama dengan pihak-pihak internasional.
Maka saya kemudian juga terlibat di dalam berbagai macam kegiatan kerja sama dalam konteks counter radicalism and terrorism ini. Misalnya, pada tahun 2013, saya pernah terlibat bersama-sama dengan UNICRI, United Nations Interregional Crime Research Institute, untuk membantu pemerintah Belgia waktu itu, Kementerian Kehakiman Belgia, dalam satu proyek upaya menangani radikalisasi di penjara-penjara Belgia, waktu itu, tahun 2013.
Saya juga kemudian secara decisive lebih banyak terlibat lagi dalam jaringan internasional terkait masalah ini, sampai kemudian pada tahun 2014 saya bersama beberapa orang teman mendirikan satu organisasi di Amerika Serikat, yang kami beri nama Bayt Ar-Rahmah atau Home of Divine Grace, yang kemudian menggalang berbagai macam kerja sama dengan berbagai pihak internasional.
Kami, misalnya, pernah terlibat dalam satu studi khusus tentang ISIS pada tahun 2015-2016, saya kira, bersama salah satu lembaga internasional di Austria yang berbasis di Universitas Vienna, yaitu Vienna Observatory of Applied Research on Terrorism and Extremism atau Vortex, waktu itu. Dan kami melakukan riset terhadap berbagai macam kegiatan ISIS di platform-platform internet dengan hasil yang luar biasa menakjubkan, dan itu berarti menakutkan, karena kegiatan ISIS di platform internet itu luar biasa masif, dan kita melihat pola yang masih serupa dengan apa yang pada waktu itu sangat kuat dilakukan oleh ISIS, dan masih dikerjakan oleh berbagai macam kelompok teror di platform-platform internet sampai sekarang.
Masalah radikalisme dan terorisme: level domestik hingga global
Bapak Ibu yang saya hormati,
Persoalan radikalisme dan terorisme ini memang masalah yang berlapis-lapis dan memiliki manifestasi di level yang berbeda-beda dalam masyarakat.
Densus 88, saya kira, mungkin lebih banyak terlibat di dalam mengatasi masalah-masalah radikalisme-terorisme ini pada tingkat individual dari pelaku-pelaku teror dan mereka yang terlibat dalam gerakan radikal, karena, seperti kata Pak Sentot Kadensus, katanya ilmunya itu ilmu nangkap. Jadi gimana caranya nangkap orang nangkap itu kan orang per orang, individual, sebagaimana halnya juga upaya untuk melakukan pembinaan terhadap para eks-aktivis gerakan radikal dan teror, seperti Jamaah Islamiyah ini, tentu lebih banyak atau sebagian besar yang dilakukan adalah pendekatan-pendekatan individual kepada aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.
Tapi, selain itu, kita juga menyadari bahwa masalah radikalisme-terorisme ini juga punya manifestasi pada level yang lain di tengah masyarakat: pada level sosial secara domestik, sampai dengan pada level global. Karena, saya kira, teman-teman di Densus 88 ini juga sudah hafal sekali bahwa setiap gerakan radikal dan teror yang muncul di dalam negeri ini biasanya terkait dengan jaringan yang lebih luas secara internasional, karena memang manifestasi dari problem radikalisme-terorisme dan ekstremisme ini muncul dalam setiap level masyarakat.
Cara mengatasi radikalisme dan ekstremisme selama ini
Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, yang saya hormati,
Kita selama ini bekerja di dalam mengatasi radikalisme-ekstremisme ini dengan mempromosikan wacana tentang moderasi beragama, dengan asumsi bahwa mereka yang terlibat di dalam gerakan maupun aksi radikalisme, terorisme, ekstremisme, itu adalah mereka yang beragama secara kebangetan. Ekstrem itu kan bahasa Indonesianya kebangetan – mungkin bukan hanya beragama secara 100 persen, tapi mungkin lebih, sampai 125 persen atau berapa. Nah, asumsi dari moderasi beragama ini supaya orang ini beragamanya tidak usah 100 persen, tapi cukup 50 persen saja. Kira-kira seperti itu asumsi moderasi ini – supaya moderat saja, yang sedang-sedang saja, beragama itu.
Nah, di situ kemudian dipromosikan berbagai macam wacana keagamaan yang memberikan tawaran-tawaran nilai yang dikaitkan dengan agama itu; yang memiliki artikulasi-artikulasi yang lembut, yang ramah, artikulasi-artikulasi yang toleran dan lain sebagainya, untuk menandingi wacana yang dipromosikan oleh kelompok-kelompok radikal dan teror itu, yang mengarah kepada konflik, yang mendorong kepada konsolidasi dari kelompok agama itu untuk berkonflik melawan mereka yang dianggap berbeda.
Bapak Ibu sekalian saya hormati,
Sejak serangan 11 September (2001) di Gedung WTC di New York, kegiatan atau aktivisme untuk counter radikalism and terorism ini telah dilakukan secara besar-besaran dengan policy yang sangat didukung oleh berbagai pemerintah maupun lembaga lembaga-lembaga internasional.
Tetapi – seperti yang tadi juga disinggung oleh Pak Kapolri, bahwa – masalah radikalisme dan terorisme ini seolah tidak ada habisnya, dan sampai sekarang mungkin kita tidak pernah bisa mengatakan bahwa masalah ini bisa diatasi. Dan bahkan masih sangat rentan, bisa muncul lagi ketika terjadi momentum-momentum.
Setelah sekian lama saya pribadi dan sekarang juga pada tahap kami sudah membangun satu sistem kelembagaan di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama terkait dengan penanganan masalah-masalah menyangkut radikalisme dan terorisme ini, kami sampai pada kesimpulan bahwa kita memerlukan landasan nilai yang lebih decisive tentang ‘kenapa kita harus menolak radikalisme dan terorisme?’
Selama ini, wacana yang dikembangkan untuk menolak radikalisme dan terorisme adalah promosi nilai-nilai agama yang dianggap merupakan tandingan dari artikulasi-artikulasi kelompok radikal dan teroris itu. Seperti, misalnya, kalau kelompok radikal mempromosikan teori al-wala’ wal bara’, teroris, segregasi antara Muslim dengan non-Muslim, maka di sisi lain kita mempromosikan artikulasi yang, misalnya, kita kaitkan dengan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Misalnya, ketika kelompok radikal dan teror membuat artikulasi yang mendorong kepada peperangan atau penggunaan kekerasan, maka kita mempromosikan wacana nilai-nilai yang terkait dengan kasih sayang dan lain sebagainya. Ini yang selama ini kita lakukan.
Masalahnya kemudian adalah: Apa alasannya? Karena – Bapak Ibu sekalian yang saya hormati – baik artikulasi-artikulasi yang bersifat mendorong konflik, yang bersifat mendorong segregasi, yang bersifat mendorong kekerasan kepada kelompok yang dianggap non-Muslim atau kafir, dianggap musuh, maupun artikulasi-artikulasi yang mendorong toleransi, kasih sayang, integrasi sosial, dua macam artikulasi ini sama-sama punya rujukan di dalam sumber-sumber agama.
Ketika saya terlibat dalam kerja sama dengan Vortex – yang tadi saya sampaikan – dan kami mengumpulkan berbagai macam dokumen tentang wacana keagamaan yang dibangun oleh ISIS, salah satunya ada satu kitab – 600 halaman lebih, yang ditulis oleh mufti ISIS pada waktu itu – yang berisi landasan keagamaan ‘kenapa orang harus bergabung dengan ISIS dan berperang melawan sistem global?’ yang dianggap sebagai sistem kafir.
Saya ini santri sejak kecil. Bapak saya kiai, kakek saya juga kiai. Saya belajar agama praktis sejak saya bisa mulai ngomong. Saya belajar tentang sejarah Islam, tentang syariat, dan lain sebagainya, sejak anak-anak sampai tua begini juga belum selesai; maka saya bisa melihat dan saya tahu betul, saya tahu persis, karena saya juga belajar itu, bahwa kitab yang dijadikan pegangan keagamaan oleh ISIS itu sepenuhnya otoritatif. Otoritatif itu artinya apa? Bisa diterima berdasarkan asas-asas kajian keagamaan yang ada di dalam Islam. Nah, bahwa kemudian ada Al-Azhar yang membangun wacana yang berbeda, ini soal perbedaan interpretasi. Dan di dalam doktrin agama, perbedaan interpretasi ini tidak bisa membatalkan satu sama lain – kalau hanya sekadar perbedaan interpretasi.
Itulah sebabnya – Bapak Ibu sekalian kami hormati – sejak itu kami memfokuskan diri untuk mencari landasan yang lebih decisive, yang lebih tegas, yang lebih pasti, tentang ‘kenapa kita harus hidup berdampingan secara damai dan tidak menyulut konflik dan permusuhan antarkelompok?’.
Sejarah panjang konflik antaridentitas
Bapak Ibu sekalian yang kami hormati,
Di dalam studi yang kami lakukan, kami menemukan bahwa sebetulnya konflik antarkelompok identitas itu adalah sesuatu yang dulunya normal – selama, bukan hanya ratusan, bahkan ribuan tahun – dalam sejarah peradaban umat manusia. Dan bahwa aspirasi untuk saling berdamai, aspirasi untuk peaceful coexistence, untuk bisa hidup berdampingan secara damai itu adalah aspirasi yang baru, belum lama.
Aspirasi itu baru muncul sesudah Perang Dunia II; aspirasi bahwa di dalam pergaulan umat manusia global ini kita harus saling menenggang dengan mereka yang berbeda identitas, harus toleran, harus berdampingan secara damai, itu baru muncul sekurang-kurangnya itu sesudah perang dunia II dengan lahirnya Piagam PBB yang di dalamnya terdapat prinsip-prinsip, antara lain, prinsip tentang perbatasan-perbatasan internasional yang definitif.
Ini juga sesuatu yang baru yang nyaris unprecedented (belum pernah terjadi sebelumnya) bahwa ada sistem untuk menetapkan perbatasan-perbatasan internasional untuk menentukan batas kedaulatan negara-negara. Sebelumnya, ini nyaris tidak dianggap sebagai sesuatu yang fundamental di dalam pergaulan internasional. Dan yang kedua adalah prinsip kesetaraan martabat di antara umat manusia di antara bangsa-bangsa – yang juga sangat baru, sangat unprecedented.
Sebelum Piagam PBB itu, yang ditandatangani 26 Juni 1945 – proklamasi belum (terjadi) – status Indonesia itu masih negara jajahan Jepang. Dan selama sekian lama, bangsa Indonesia ini hidup di bawah penjajahan Belanda dengan status dan martabat yang nyaris setara dengan budak, sebagai warga negara kelas III, dan itu dianggap normal selama ratusan tahun. Itu juga praktik yang terjadi di mana-mana di seluruh dunia – termasuk di Amerika Serikat.
Kita tahu bahwa walaupun Amerika Serikat sudah melarang perbudakan, tapi diskriminasi rasial masih dilestarikan secara hukum di Amerika Serikat sampai sekitar tahun 1960-an, baru (setelah) itu semuanya dihilangkan. Tapi secara hukum diskriminasi rasial masih berlaku sampai 1960-an.
Nah, maka, sekali lagi – Bapak Ibu sekalian – kita perlu secara lebih jujur melihat sejarah bahwa sebelum ini, selama sekian lama dalam sejarah peradaban umat manusia, konflik itu adalah normal dan konflik terjadi selama ratusan bahkan ribuan tahun; konflik antar agama, konflik antar ras, antar etnik, dan lain sebagainya, untuk memperebutkan supremasi antara yang satu dengan yang lain; terjadi sekian lama, dan itu adalah moda pergaulan kemanusiaan yang normal dalam sejarah peradaban.
Islam terlibat dalam konflik melawan – Islam dalam hal ini Turki Utsmani, supaya saya lebih spesifik. Turki Utsmani, yang membawa identitas Islam, terlibat dalam konflik melawan – negara-negara, bangsa-bangsa Kristen Eropa selama 7 abad, tanpa henti. Serbia itu adalah medan pertempuran yang tidak pernah berhenti selama 150 tahun karena konflik antara Turki Utsmani melawan bangsa-bangsa Kristen Eropa.
Tapi bukan hanya itu, Negara-negara bangsa-bangsa Kristen Eropa ini juga saling berkonflik satu sama lain berdasarkan identitas agama. Negara-negara Protestan melawan negara-negara Katolik, melawan Anglikan Inggris, terjadi selama berabad-abad.
Alasan mengembangkan hubungan yang lebih damai
Nah, maka kita harus dengan jujur, pertama, mengakui bahwa konflik itu adalah moda yang asli dari hubungan antar kelompok. Dulunya memang konflik.
Kenapa kemudian kita ingin mengembangkan hubungan yang lebih damai, yang toleran, koeksistensi damai?
Saya kira, pertama-tama, kalau dalam konteks global, karena dunia mengalami trauma dari akibat perang besar-besaran dengan korban yang luar biasa, khususnya pada Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang kemudian mendorong tumbuhnya aspirasi yang kuat untuk membangun suatu tatanan internasional yang dapat mencegah konflik. Nah, maka lahirlah apa yang kita kenal sebagai Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Maka – Bapak Ibu sekalian – saya kira, satu-satunya alasan yang bisa kita tunjuk sebagai alasan yang decisive, alasan yang pasti tentang ‘Kenapa muslim tidak boleh lagi berperang melawan Kristen? Kenapa Arab seharusnya tidak boleh lagi berperang melawan Yahudi? Kenapa Hindu tidak boleh lagi berkonflik melawan Muslim? Kenapa di dalam semua masyarakat tidak boleh ada diskriminasi terhadap agama dan kelompok etnis apa pun?’ dan seterusnya, saya kira yang kita bisa tunjuk sebagai alasan yang paling decisive untuk itu semua adalah karena adanya konsensus internasional yang kemudian dituangkan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebelum itu, tak ada alasan untuk itu.
Sebelum ada Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Netherland tidak punya alasan untuk tidak menginjak-injak martabat bangsa Indonesia – tidak ada alasan! Tidak ada alasan bagi Turki Utsmani untuk menghentikan perang melawan Kristen Eropa, kecuali setelah mereka kalah dalam Perang Dunia I. Dan tidak ada alasan bagi negara mana pun untuk menghentikan kolonialisme, sebelum konsensus internasional berupa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa itu. Maka, saya kira, yang kita bisa tunjuk sebagai alasan decisive dari imperatif untuk peaceful coexistence itu adalah konsensus internasional.
Nah, bangsa Indonesia memiliki konteks yang, saya kira, lebih unik daripada itu, lebih khusus; karena, pertama, kita memiliki sejarah yang unik. Bangsa ini memiliki sejarah yang unik sedemikian rupa, sehingga ada rasa identitas sebangsa yang mungkin lebih kuat dibanding sejumlah negara atau sejumlah bangsa lain di dunia ini.
Bangsa Indonesia ini, kita punya sejarah dengan konteks sosial dan teritorial yang relatif lebih solid selama berabad-abad – sejak masa Sriwijaya sampai dengan akhir kolonialisme – yang membuat masyarakat di lingkungan Nusantara ini memiliki naluri rasa sebangsa di antara mereka.
Dan jauh sebelum kemerdekaan, Oktober 1928, sudah terjadi satu konsensus di antara berbagai representatif dari berbagai kelompok etnis dan kelompok identitas yang lain di Indonesia, kelompok-kelompok agama, untuk membuat kesepakatan bersama yang dituangkan di dalam Sumpah Pemuda; Berbangsa satu, bertanah air satu, (dan) berbahasa satu: Indonesia. Ini adalah konsensus, dan konsensus ini lebih lanjut diwujudkan di dalam Proklamasi Kemerdekaan dengan lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945.
Wacana yang mendorong konflik
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati,
Saya pernah ditanya dalam salah satu engagement saya di – saya kira waktu itu di – Washington. Ada seorang – mungkin sebetulnya dia seorang Islamofobia – bertanya kepada saya. Dia mengatakan: “Anda ini dari organisasi Islam yang mengklaim terbesar di Indonesia yang merupakan negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, kenapa Anda tidak mau Negara Islam?” Itu yang dia tanyakan. “Anda Muslim, dari gerakan Islam di negara mayoritas Islam, kenapa Anda tidak mau Negara Islam?”
Saya kira, pertanyaan orang ini sebetulnya adalah pertanyaan yang sifatnya menguji, karena dia mungkin tidak terlalu percaya bahwa saya ini seorang Muslim yang damai – karena Islamofob di berbagai negara itu meyakini bahwa tidak ada Muslim yang baik. Muslim yang baik itu cuma Muslim yang sudah mati – itu keyakinan Islamofob di berbagai negara. Saya bertemu juga dengan mereka, melakukan engagement dengan mereka, dan mereka senantiasa ingin menguji: ‘Apa betul ini jujur? Jangan-jangan ini cuma berpura-pura saja – cuma menjilat-jilat saja? Sekarang sebetulnya dia masih tidak mau.’
Kenapa – Bapak Ibu sekalian? – Karena sebetulnya semua orang juga tahu bahwa sebagai tandingan dari wacana artikulasi keagamaan yang damai dan toleran itu ada wacana yang mendorong konflik, dan dua-duanya mengklaim, membuat rujukan kepada sumber-sumber ajaran. Itu JI, ISIS, apalagi, semuanya, mereka kalau ngomong juga berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an, berdasarkan Hadits, berdasarkan pendapat dari para ulama, dan sebagainya – sama seperti kiai-kiai NU ini. Jadi ini cuma adu ayat saja: yang satu bilang toleran, yang satu bilang konflik; mau pilih yang mana?
Memegang Konsensus dan Perjanjian Damai
Nah, karena itulah – Bapak Ibu sekalian yang saya hormati – kami sampai pada kesimpulan bahwa kita perlu menegaskan alasan bahwa kita harus bersama. Alasan bahwa kita harus berkoeksistensi damai, harus toleran, dan seterusnya, adalah karena kita telah mengakui, kita telah memiliki konsensus di antara kita semua untuk hidup di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945. Itu adalah konsensus, perjanjian di antara kita yang mengikat semua orang.
Dan khusus di dalam wawasan keislaman, ini adalah prinsip yang tidak bisa diperdebatkan: Mau ikut mazhab mana pun, mau pilih aliran apa pun, prinsip bahwa perjanjian harus ditaati dan tidak boleh dilanggar itu adalah prinsip yang absolut yang tidak ada perbedaan di dalamnya menurut aliran mana pun di dalam Islam.
Dan, saya kira, di luar Islam pun ini suatu yang satu prinsip yang sama, karena di dalam wacana tentang diplomasi internasional ada dikenal satu prinsip yang dinyatakan di dalam bahasa Latin yang bunyinya “Pacta sunt servanda”, perjanjian harus dipegang, harus ditaati,– dan ini merupakan asas diplomasi internasional yang sudah sangat lama.
Dan di dalam Islam, ada Sabda Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: An-Naasu ‘alaa syuruthihim, orang itu terikat pada perjanjian yang dibuatnya. Dan begitu perjanjian itu dibuat, maka peran apa yang ada di dalam perjanjian itu, asalkan tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental dari agama, adalah kewajiban keagamaan untuk menaatinya.
Itulah sebabnya – Bapak Ibu sekalian yang saya saya hormati – ketika sesudah proklamasi kemerdekaan, dan kemudian sudah diumumkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara pada 18 Agustus 1945, dan kemudian datang tentara Sekutu bersama-sama dengan NICA untuk kembali mengambil alih Indonesia ini, untuk dikembalikan menjadi wilayah di bawah kekuasaan Belanda – karena logikanya waktu itu Indonesia bagian dari Belanda.
Indonesia waktu itu kan ada gubernemen, bagian dari kerajaan Belanda, sampai datang Jepang, karena Perang Dunia II diambil alih oleh Jepang. Jepang kalah, logika dari Sekutu: seharusnya Indonesia teritori Indonesia dikembalikan kepada Belanda. Tapi sebelum itu terjadi, kita sudah terlebih dahulu memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia. Mereka masih tetap datang untuk mengambil alih kembali Indonesia. Apa yang terjadi kemudian?
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati.
Beberapa waktu yang lalu, belum lama, di Surabaya, di depan warga NU, Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa ‘kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta, tapi kemudian diuji di Surabaya.’ Itu yang beliau katakan, yaitu dalam Perang Surabaya. Dan waktu itu beliau juga meneruskan yang kira-kira isinya bahwa yang nggarap ujiannya itu adalah santri-santri dan pengikut-pengikutnya Kiai Muhammad Hasyim Asy'ari –yang garap ujiannya.
Proklamasi di Jakarta, ujiannya di Surabaya, dan yang nggarap ujian itu adalah pengikut-pengikutnya Kiai Hasyim Asy’ari. Kenapa? Karena pada 22 Oktober 1945, kiai-kiai, para pimpinan Nahdlatul Ulama waktu itu berkumpul di Surabaya, dan mereka mengajukan mengajukan resolusi kepada pemerintah Indonesia.
Jadi kita sekarang mengenal ada Resolusi Jihad, itu adalah resolusi dari para pimpinan Nahdlatul Ulama kepada pemerintah Republik Indonesia, yaitu Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta, yang isinya adalah meminta agar pemerintah mengumumkan Perang Sabil untuk mempertahankan bangsa melawan tentara Sekutu yang datang ke Surabaya.
Perang Sabil itu artinya perang fi sabilillah, perang di jalan Allah. Dan Perang Sabil ini perang untuk membela Negara Proklamasi, Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang bukan negara Islam. Sejak awal ini bukan negara Islam. Ini NKRI berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, dan para ulama meminta kepada Pemerintah RI waktu itu untuk mengumumkan Perang Sabil, jihad fi sabilillah membela NKRI berdasarkan UUD 1945. Kenapa ini kemudian dianggap sah oleh para ulama? Karena konsensus ini telah ditetapkan dan sebagai kerangka syariat. Tapi di situ ada kesetaraan hak, di antara semua kelompok agama. Kalau itu konsensus, itulah yang menjadi nilai, karena sudah menjadi konsensus.
Pada waktu itu memang pemerintah tidak membuat pengumuman Perang Sabil, tapi karena resolusi ini diumumkan, sehingga semua orang tahu, akhirnya tanpa pengumuman dari pemerintah, orang-orang berangkat sendiri untuk perang di Surabaya itu.
Nah, poin saya adalah – Bapak Ibu sekalian – bahwa konsensus semacam ini, secara syariat, konsensus yang kerangkanya bukan Negara Islam, bukan imamah seperti keyakinan JI atau ISIS atau yang lain, bukan khilafah seperti keyakinannya HTI, tapi NKRI berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, ini wajib dibela dengan jihad laksana agama itu sendiri, karena tuntutannya adalah Perang Sabil, perang jihad fi sabilillah. Kenapa? Karena konsensus semacam itu kemudian memiliki nilai agama, dan apa yang menjadi kesepakatan di dalam konsensus itu mengatasi apa pun norma-norma yang ditetapkan sebelum ada konsensus.
Bahkan, norma-norma yang lazim yang tetap secara syariat harus ditundukkan kepada konsensus. Ini jelas sekali, karena Rasulullah Muhammad sallallahu alaih wasallam juga mencontohkan di dalam berbagai kesempatan. Pertama, dengan Piagam Madinah, dan yang sangat-sangat mencolok, sangat kelihatan decisive sekali itu ketika dilakukan Perjanjian Hudaibiyah.
Pada waktu itu Rasulullah Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam sudah berangkat bersama para sahabat untuk melaksanakan umrah, sudah sampai di Hudaibiyah, di perbatasan Makkah – di Hudaibiyah itu – dan kemudian sudah mulai ihram. Mulai ihram itu memulai permulaan dari ritual umrah itu sendiri: yang laki-laki harus melepaskan semua pakaian yang berjahit dan mengganti dengan dua lembar selendang, dan menyatakan ‘mulai sekarang saya berihram.’ Saya berihram artinya ‘mulai sekarang saya tidak akan melakukan tidak akan memakai wangi-wangian, mulai sekarang saya tidak akan memotong rambut maupun kuku, mulai sekarang saya tidak akan melakukan pernikahan atau hubungan suami istri sampai umrahnya selesai’ – sampai selesai umrah, yang ditandai dengan tahalul. Mulai ihram itu begitu. Dan normalnya, kalau orang sudah berihram, dia tidak boleh berhenti sebelum keseluruhan ritual umrah itu terlaksana, yaitu tawaf dan sai, mengelilingi Kakbah dan sai antara Shafa dan Marwah, sebelum selesai dia tidak boleh berhenti. Itu norma asalnya.
Rasulullah dan para sahabat sudah berihram, belum sempat masuk Makkah, datang utusan dari Quraisy Mekah yang meminta ada perjanjian supaya umrahnya ditunda. Dan pada waktu itu Rasulullah menyetujui, teken perjanjian. Dan pada saat itu juga Rasulullah memerintahkan untuk menghentikan prosesi umrahnya, dan bertahalul, karena ada perjanjian, padahal belum tawaf belum sa’i, tapi sudah suruh berhenti, ditundukkan kepada perjanjian. Harusnya dia enggak boleh berhenti sampai selesai tawaf-sai, tidak boleh. Tapi karena ada perjanjian, maka tunduk pada perjanjian, hentikan ihramnya, lalu bertahalul.
Nah, ini – Bapak Ibu sekalian – satu ilustrasi tentang bagaimana konsensus atau perjanjian ini menjadi alasan yang lebih decisive untuk kehidupan damai di antara kita.
Tantangan: membuktikan sistem yang telah disepakati
Persoalan selanjutnya adalah persoalan membuktikan agar sistem yang kita sepakati ini jalan, memang baik untuk semua orang – itu tantangan kita bersama. Bahwa kemudian belakangan – belakangan sebetulnya – ada pihak-pihak yang ingin menolak Pancasila, ingin membatalkan konsensus, karena mereka merasa konsensus ini tidak jalan – mereka merasa dikhianati dalam konsensus itu.
Demikian juga secara internasional. Ketika ada kelompok-kelompok teroris internasional, mereka selalu menyatakan bahwa mereka dikhianati oleh pihak-pihak dalam konsensus internasional itu.
Jadi, tantangan selanjutnya adalah membuktikan, dan sungguh-sungguh menegakkan bahwa konsensus yang sudah disepakati itu bisa jalan sebagai sistem dan membawa benefit, membawa maslahat bagi semua orang.
Ini insyaallah akan memberikan kepada kita satu kerangka yang lebih kuat tentang apa yang ke depan harus menjadi agenda-agenda kita, bagaimana argumentasi-argumentasi kita harus dibangun di dalam menghadapi kelompok-kelompok radikal dan teror ini, sehingga kita juga bisa menggerakkan masyarakat secara lebih luas, memberi kesadaran secara lebih luas kepada masyarakat tentang kepentingan bersama kita semua untuk menegakkan konsensus dan menolak berbagai macam gerakan yang memang bertujuan untuk mengganggu sampai dengan meruntuhkan sistem yang dibangun di atas konsensus itu sendiri.
Bapak Ibu sekalian yang saya hormati,
Saya mohon maaf apabila menyita waktu agak terlalu lama. Tapi karena memang ini adalah concern yang masih sangat relevan untuk kita pikirkan dan masih menjadi pekerjaan yang tidak ringan bagi kita semua di masa depan.
Dan saya sungguh ingin bahwa kerja sama, khususnya antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Nahdlatul Ulama, di dalam masalah ini akan bisa terus meningkat menjadi hal-hal yang lebih decisive, bukan hanya di dalam kegiatan-kegiatan lapangan, tapi sampai kepada kebijakan atau policy yang dirancang dan ditetapkan di tingkat pimpinan.
Terima kasih atas perhatian Bapak Ibu sekalian, dan saya mohon maaf apabila ada kekurangan-kekurangan.
Wallāhul muwaffiq ilā aqwāmith tharīq.
Wassalāmualaikum warahmatullāh wabarakātuh.
Komentar
Posting Komentar