Hukum Shalat Sendiri saat Shalat Jamaah Berlangsung di Tempat yang Sama - NuOnline

 

Hukum Shalat Sendiri saat Shalat Jamaah Berlangsung di Tempat yang Sama

Ahad, 2 Maret 2025 | 21:00 WIB

Hukum Shalat Sendiri saat Shalat Jamaah Berlangsung di Tempat yang Sama

Ilustrasi shalat berjamaah. Sumber: Canva/NU Online.

Sunnatullah

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat siang, redaktur kolomnis bahtsul masail NU Online. Saya mau bertanya, apa hukum shalat yang dilaksanakan secara munfarid (menyendiri atau tidak berjamaah) sedangkan di depan ada orang yang sedang shalat berjamaah? Apakah praktik ini termasuk sebagai shalat sendirian di belakang saf (barisan)? Mohon penjelasannya. Syukran. (Hamba Allah).

Baca Juga

Ini Susunan Wirid Setelah Shalat Witir

Jawaban:

Wa’alaikumussalam Wr. Wb.

Penanya yang budiman, semoga kita selalu dalam lindungan Allah. Perlu diketahui, bahwa shalat berjamaah merupakan salah satu amalan yang sangat dianjurkan dalam Islam. Keutamaan yang melekat pada shalat jamaah tidak hanya sebatas pahala yang berlipat ganda, namun juga sebagai bentuk kebersamaan antar umat Islam, sehingga rasa persaudaraan akan semakin kuat. 

Baca Juga

Hukum Shalat Jamaah dengan Pacar

Keutamaan shalat berjamaah pun sangat besar, bahkan dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa pahalanya dilipatgandakan hingga 25 derajat, ada juga riwayat yang mengatakan 27 derajat, tentu ini berlipat lebih banyak pahalanya dibandingkan shalat sendirian. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW bersabda:

‎عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً. وَلِلْبُخَارِيِّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي سَعْدٍ: بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Artinya, “Dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan keutamaan 27 derajat.” (HR Muslim), dan dalam riwayat Al-Bukhari dari hadits Abu Sa’id: “Dengan keutamaan 25 derajat.” (Abul Fadl al-Iraqi, Taqribul Asanid wa Tartibul Masanid, [Beirut: Darul Fikr, t.t], halaman 30).

Baca Juga

Hukum Shalat Berjamaah dengan Anak Kecil yang Belum Baligh

Kendati demikian, apabila seseorang memilih untuk melaksanakan shalat sendirian atau munfarid ketika shalat berjamaah sedang berlangsung sebagaimana dalam pertanyaan di atas, maka secara hukum fiqih hukum shalatnya tetap sah dan menggugurkan kewajibannya. Hanya saja, praktik semacam ini hukumnya makruh.

Pendapat di atas sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ahmad Abul Hasan al-Mahamili (wafat 415 H), dalam salah satu kitabnya ia menjelaskan bahwa terdapat lima jenis shalat yang dihukumi makruh dalam Islam, salah satunya adalah shalat sendirian di dalam masjid pada waktu berlangsungnya shalat berjamaah,

‎وَأَمَّا الْمَكْرُوْهُ فَهُوَ خَمْسَةُ أَنْوَاعٍ، وَهُوَ.... الصَّلاَةُ مُنْفَرِدًا فِي الْمَسْجِدِ فِي وَقْتِ الْجَمَاعَةِ

Artinya, “Adapun shalat yang makruh, maka ia terbagi menjadi lima jenis, di antaranya adalah shalat sendirian di dalam masjid pada waktu berlangsungnya shalat berjamaah.” (al-Lubab fil Fiqhis Syafi’i, [Madinah: Darul Bukhara, tahqiq: Abdul Karim al-Ummari, cetakan pertama: 1416 H], halaman 94).

Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Syekh Zakaria al-Anshari (wafat 926 H), dalam salah satu karyanya menjelaskan bahwa salah satu jenis shalat yang dihukumi makruh adalah shalat yang dilakukan secara sendiri (munfarid), meskipun berada di luar saf dan tidak tergabung dalam barisan jamaah, sementara shalat berjamaah sedang berlangsung.

Tidak hanya itu, dalam pandangannya, shalat sendiri yang berhukum makruh tidak hanya ketika bersamaan dengan dilaksanakannya shalat berjamaah, namun juga mencakup kondisi ketika seseorang mengetahui bahwa shalat berjamaah akan segera dimulai. Dalam salah satu kitabnya, ia mengatakan:

‎وَرَابِعُهَا مَكْرُوْهَةٌ وَهِيَ كَثِيْرَةٌ، مِنْهَا: صَلاَةُ مُنْفَرِدٍ وَلَوْ عَنِ الصَّفِّ، وَالْجَمَاعَةُ قَائِمَةٌ، لِلنَّهْيِ عَنْهَا فِي خَبَرِ الْبُخَارِي. وَفِي مَعْنَى قِيَامِ الْجَمَاعَةِ تَوَقُّعُ قِيَامِهَا

Artinya, “Adapun yang keempat adalah (shalat) yang makruh, dan jumlahnya banyak. Di antaranya adalah shalat sendirian meskipun di luar saf, sementara shalat berjamaah sedang berlangsung, karena terdapat larangan terhadapnya dalam hadits riwayat al-Bukhari. Dan termasuk dalam makna ‘shalat berjamaah sedang berlangsung’ adalah menunggu dimulainya shalat berjamaah.” (Tuhfatut Thullab bi Syarhi Matni Tahriri Tanqihil Lubab, [Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.t], halaman 41).

Dengan demikian, pendapat Syekh Zakaria al-Anshari tidak hanya mengatakan makruh mengerjakan shalat sendiri ketika di tempat yang sama sedang berlangsung shalat berjamaah, namun juga makruh shalat sendiri di tempat yang hendak dilangsungkan shalat berjamaah.

Dengan demikian, pendapat Syekh Zakaria al-Anshari tidak hanya sekadar menetapkan kemakruhan bagi seseorang yang melaksanakan shalat sendirian saat di tempat yang sama tengah berlangsung shalat berjamaah, tetapi juga memperluasnya hingga mencakup kemakruhan shalat sendirian di tempat yang telah dipersiapkan untuk pelaksanaan shalat berjamaah.

Lantas, apakah praktik ini termasuk sebagai shalat sendirian di belakang saf, sebagaimana pertanyaan di atas?

Berkaitan dengan pertanyaan kedua ini, terdapat salah satu kisah pada masa Rasulullah. Dikisahkan, ketika Nabi selesai melaksanakan shalat, ia melihat seorang laki-laki yang shalat sendirian di belakang saf. Maka Nabi bertanya kepadanya, “Apakah engkau shalat seperti ini?” Laki-laki itu menjawab, “Iya.” Kemudian Rasulullah bersabda, “Ulangi shalatmu, karena tidak sah shalat seseorang yang sendirian di belakang shaf.” (Ibnu Hibban at-Tamimi, Shahih Ibnu Hibban, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1993], jilid V, halaman 580).

Adapun dalam riwayat yang dicatat oleh Imam Ahmad bin Hanbal, dikisahkan bahwa Rasulullah melihat seseorang sedang shalat sendirian di belakang saf. Nabi pun menunggu hingga orang itu selesai shalat, kemudian berkata kepadanya, “Ulangi shalatmu, karena tidak sah shalat seseorang yang sendirian di belakang saf.” (Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad, [Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1999], jilid IV, halaman 23).

Dengan demikian, maka praktik shalat sendiri tanpa berjamaah di tempat yang sedang dilangsungkan shalat berjamaah termasuk dalam konsep “shalat sendirian di belakang saf”. Hanya saja, benarkah pemahaman dari hadits di atas hanya sebatas teks itu saja, yang berarti shalatnya batal dan harus shalat kembali? Untuk lebih sempurna, mari kita bahas.

Merujuk penjelasan Imam Nawawi (wafat 676 H) dan Syekh Wahbah Zuhaili dalam masing-masing kitabnya menjelaskan bahwa maksud dari hadits yang mmenegaskan “Tidak ada shalat bagi orang yang berada di belakang saf”, tidak memiliki arti tidak sah, namun sekadar tidak sempurna saja. Artinya, shalatnya tetap sah, hanya saja kurang sempurna, dan lebih baik ikut serta dalam berjamaah. Dalam kitabnya disebutkan:

‎وَقَوْلُهُ صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا صَلاَةَ لِلَّذِى خَلْفَ الصَّفِّ" أَي لاَ صَلاَةَ كَامِلَةً

Artinya, “Adapun sabda Rasulullah SAW: ‘Tidak ada shalat bagi orang yang berada di belakang saf,” maksudnya adalah shalatnya tidak sempurna.” (Majmu’ Syarhil Muhadzab, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid IV, halaman 298, al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus: Darul Fikr, t.t], jilid II, halaman 409, al-Hawi al-Kabir lil Mawardi, [Beirut: Darul Fikr, t.t], jilid II, halaman 772).

Dari beberapa tulisan di atas, dapat disimpulkan bahwa melaksanakan shalat secara munfarid di tempat yang sedang berlangsung shalat berjamaah atau akan dilangsungkannya shalat berjamaah, shalatnya tetap sah dan menggugurkan kewajiban, tetapi hukumnya dianggap makruh. Dan, praktik shalat seperti ini dapat mengurangi kesempurnaan shalat tersebut, dan sebaiknya jika memungkinkan, seseorang bergabung dalam shalat berjamaah. Wallahu a’lam bisshawab.

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan alumnus Program Kepenulisan Turots Ilmiah Maroko.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga