Penyelewengan Dana Desa Perspektif Fiqih Islam - NU Online - Liputan Informasi 9

Post Top Ad

demo-image

Penyelewengan Dana Desa Perspektif Fiqih Islam - NU Online

Share This
Responsive Ads Here

 

Penyelewengan Dana Desa Perspektif Fiqih Islam

Di era keterbukaan dan akuntabilitas, pengelolaan dana publik menjadi sorotan utama. Masyarakat semakin peduli terhadap bagaimana uang pajak mereka dibelanjakan, dan transparansi menjadi tuntutan tak terhindarkan. Namun, di balik harapan akan pengelolaan yang amanah, praktik penyelewengan dana desa masih menjadi masalah serius yang menggerogoti kepercayaan publik dan menghambat pembangunan.
 

Baru-baru ini, PPATK menemukan penyalahgunaan dana desa yang dilakukan oleh beberapa kepala desa untuk kegiatan judi online. Jumlah uang yang terlibat mencapai puluhan miliar rupiah, dengan kisaran antara Rp 50 juta hingga Rp 260 juta per kepala desa. Modus yang digunakan adalah dengan mentransfer dana desa ke rekening pribadi atau pihak lain, yang kemudian digunakan untuk bermain judi online. 
 

UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan desa peran penting dalam pembangunan nasional, dengan otonomi untuk mengurus pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya secara mandiri. Tujuannya adalah untuk mempercepat pembangunan di desa, meningkatkan pertumbuhan ekonomi desa, hingga meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat desa.
 

Namun, pada realitanya, program percepatan tersebut belum terlaksana secara optimal. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan berbagai modus korupsi dalam pengelolaan dana desa, seperti penggelembungan anggaran, kegiatan atau proyek dan laporan fiktif, hingga penggelapan dan penyalahgunaan anggaran.
 

Berdasarkan survei Indeks Perilaku Anti Korupsi Badan Pusat Statistik (BPS) periode semester 2024, masyarakat desa ternyata lebih koruptif dibanding perkotaan. Data tersebut menjadi target dan tantangan bersama dalam mengatasi perilaku korup di pedesaan. Apalagi terkait dengan dana desa yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) masih ditengarai terjadi kebocoran.
 

Dalam pandangan Islam, penyelewengan dana negara merupakan tindakan yang dilarang dan termasuk dari ghulul. Abul Hasan Ali Al-Mawardi mengatakan ghulul adalah sesuatu yang menyimpang dari haknya. Artinya ghulul adalah bentuk penyelewengan dana yang tidak sesuai dengan ketentuannya. (Al-Hawil Kabir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1994], juz XVI, halaman 285).
 

Rasulullah saw bersabda:
 

إِيَّاكَ وَالذُّنُوبَ الَّتِي لَا تُغْفَرُ الْغُلُولُ فَمَنْ غَلَّ شَيْئًا أَتَى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
 

Artinya, “Waspadalah terhadap dosa-dosa yang tidak diampuni, yaitu penyelewengan. Karena siapa pun yang menyelewengkan suatu hal, dia akan mendatangkannya pada hari kiamat.” (HR At-Thabarani).
 

Dalam penjelasannya, ghulul tidak hanya berlaku pada harta ghanimah (rampasan perang), melainkan juga pada dana rakyat. Ibnu Hajar Al-Haitsami mengatakan, larangan penyelewengan juga berlaku pada harta umat Islam, kas negara (baitul mal), serta zakat. (Az-Zawajir 'an Iqtirafil Kabair, [Darul Lu’lu’ah: 2018], juz III, halaman 389).
 

Dana dana desa merupakan dana kemaslahatan umum (mashalih), sehingga pengelolaannya hanya untuk kemaslahatan bersama, sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan, dan bukan untuk pribadi. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa dana maslahat hanya boleh digunakan untuk maslahat umum dan atau untuk orang yang membutuhkan yang menangani kemaslahatan umum. 
 

قَالَ الْغَزَالِي مَالُ الْمَصَالِحِ لَا يَجُوْزُ صَرْفُهُ إِلَّا لِمَنْ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ عَامَّةٌ أَوْ هُوَ مُحْتَاجٌ عَاجِزٌ عَنِ الْكَسْبِ مِثْلُ مَنْ يَتَوَلَّى أَمْرًا تَتَعَدَّى مَصْلَحَتُهُ إِلَى الْمُسْلِمِيْنَ 
 

Artinya, “Al-Ghazali berkata: 'Tidak boleh mengeluarkan dana kemaslahatan kecuali pada orang yang mempunyai kepentingan umum, atau orang yang membutuhkan dan tidak mampu mencari nafkah, seperti orang yang melakukan sesuatu yang kepentingannya mengarah untuk umat Islam'.” (Al-Majmu’, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah], juz X, halaman 518).
 

Sayyid Abdurrahman menjelaskan, orang yang bertugas mengelola dana negara, ia harus menjaganya, mengelola dengan keuntungan dan kemaslahatan, serta mengalokasikannya sesuai dengan tempat alokasinya. 

وَظِيْفَةُ الْوَلِي فِيْمَا تَوَلَّى فِيْهِ حِفْظُهُ وَتَعَهُّدُهُ وَالتَّصَرُّفُ فِيْهِ بِالْغِبْطَةِ وَالْمَصْلَحَةِ وَصَرْفُهُ فِي مَصَارِفِهِ
 

Artinya, “Tugas wali atau pengurus dalam dana negara yang diurusnya adalah melestarikan, merawat, mengelola dengan keuntungan dan kemaslahatan, serta membelanjakannya sesuai dengan ketentuannya.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut, Darul Fikr], halaman 360).
 

Melihat dampak buruk dari tindakan penyelewengan dana negara, hukuman yang dapat diterapkan sebagaimana keputusan dalam Munas-Konbes NU tahun 2012 sampai hukuman mati. Keputusan tersebut tentu mempertimbangkan besar kecilnya dana negara yang diselewengkan serta dampak yang ditimbulkannya. 
 

Hukuman mati bagi koruptor sebagai hukuman maksimal juga ditegaskan lagi dalam Munas-Konbes NU tahun 2012 di Pondok Pesantren Kempek-Cirebon dan kembali diperkuat dalam rekomendasi Muktamar ke-33 NU di Jombang, dengan mengikuti ketentuan perundangan-undangan yang berlaku. 

  Penyelewengan dana desa merupakan tindakan kezaliman yang merugikan rakyat secara umum. Berdasarkan dampak tersebut, para pelaku dapat dikenakan sanksi seberat-beratnya sesuai tindakan yang telah mereka lakukan. Wallahu a’lam.


 

 

Ustadz Muhammad Zainul Millah, Peengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum Wonodadi Blitar.

Comment Using!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Bottom Ad

Pages