Kultum Ramadhan: Cara Beribadah Tanpa Riya’, Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Amalan - NU Online

 Romadhon 

Kultum Ramadhan: Cara Beribadah Tanpa Riya’, Menjaga Keikhlasan dalam Setiap Amalan

Seringkali dalam melaksanakan ibadah, orang melaksanakannya tidak sepenuh hati murni karena Allah. Kadang seperti ingin tampak ‘alim’, ingin lebih mencolok daripada yang lain, dan membangun personal branding, tak jarang menyelimuti bahkan mendasari pelaksanaan ibadah. Pengalaman yang demikian diindikasikan terpapar riya’.
 

Sifat riya'  identik dengan peribadatan yang berorientasi pada popularitas, mendapatkan prestise, dan hal-hal materiil. Selain menghilangkan esensi daripada ibadah itu sendiri, ibadah dengan condong untuk pamer menjadikannya  sia-sia. Bahkan, Imam Al-Ghazali memasukkan topik riya' di dalam persoalan sesuatu yang destruktif (muhlikat).
 

Sebagai seorang muslim, seyogyanya terus mengantisipasi orientasi hati dalam melaksanakan ibadah. Terlebih lagi, dalam bulan Ramadhan terdapat banyak sekali peluang untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Konsisten dalam berpuasa, membaca Al-Qur'an, memperbanyak sedekah merupakan satu dari sekian ibadah dengan pahala yang cukup banyak saat bulan Ramadhan.
 

Sayangnya, kuantitas ibadah di bulan Ramadhan tidak serta merta menghilangkan sifat riya' seseorang. Misalnya puasa yang menjadi ibadah utama, tetap berpotensi dijadikan ajang pamer terhadap orang lain. Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan, bahwa berpuasa dengan orientasi pamer memiliki konsekuensi syirik.
 

وَمَنْ صَامَ يُرَائِي فَقَدْ أَشْرَكَ
 

Artinya, “Barang siapa berpuasa dalam kondisi hati riya', maka dia benar-benar menyekutukan Allah." (HR Ahmad).
 

Tentu, konsekuensi syirik dari ibadah yang didasarkan pamer merupakan peringatan keras bagi umat muslim di saat bulan Ramadhan. Tradisi khas seperti membaca Al-Qur'an, berbagi takjil, shalat tarawih harus diniatkan murni untuk beribadah, tidak untuk pamer. 
 

Karena hal itu, umat Islam harus memiliki orientasi ikhlas dalam beribadah serta mengantisipasi riya' saat bulan Ramadhan. Pastinya tidak mudah dalam melaksanakan ibadah, terlebih saat di bulan Ramadhan tanpa ada sedikitpun merasa lebih baik dibanding orang lain. Namun bukan berarti menoleransi sifat riya' terus-menerus saat beribadah.
 

Para ulama menawarkan beberapa metode sederhana untuk menumbuhkan rasa ikhlas saat beribadah sekaligus menghilangkan sifat riya'. Seperti yang disampaikan oleh Imam As-Syatibi, dalam memurnikan ibadah dari orientasi tertentu seseorang harus membersihkan kepentingan-kepentingan pribadi.
 

أَنَّ الْعُبَّادَ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ -مِمَّنْ يُعْتَبَرُ مِثْلُهُ ههنا- أَخَذُوا أَنْفُسَهُمْ بِتَخْلِيصِ الْأَعْمَالِ عَنْ شَوَائِبِ الْحُظُوظِ، حَتَّى عَدُّوا مَيْلَ النُّفُوسِ إِلَى بَعْضِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ مِنْ جُمْلَةِ مَكَائِدِهَا, وَأَسَّسُوهَا قَاعِدَةً بَنَوْا عَلَيْهَا -فِي تَعَارُضِ الْأَعْمَالِ وَتَقْدِيمِ بَعْضِهَا عَلَى بَعْضِ- أَنْ يُقَدِّمُوا مَا لَا حَظَّ لِلنَّفْسِ فِيهِ، أَوْ مَا ثَقُلَ عَلَيْهَا؛ حَتَّى لَا يَكُونَ لَهُمْ عَمَلٌ إِلَّا عَلَى مُخَالَفَةِ مَيْلِ النَّفْسِ، وَهُمُ الْحُجَّةُ فِيمَا انْتَحَلُوا
 

Artinya, “Ahli ibadah dari Umat ini -yang kedudukannya dianggap layak dalam konteks ini—sudah berusaha untuk menyucikan amal perbuatan mereka dari segala kepentingan-kepentingan pribadi. Sehingga mereka menganggap kecenderungan jiwa terhadap sebagian amal saleh sebagai bagian dari tipu dayanya.
 

Mereka menjadikannya sebagai prinsip dasar yang mereka kokohkan dalam menghadapi pertentangan antara amal perbuatan dengan pertimbangan mendahulukan sebagian atas yang lain. Mereka lebih mengutamakan amal yang tidak memiliki kepentingan bagi diri sendiri, atau yang lebih berat bagi jiwa, sehingga mereka tidak memiliki amal kecuali yang bertentangan dengan kecenderungan nafsu mereka.” (Al-Muwafaqat, [Riyadh, Dar Ibn Ghanam: 1997], juz I, halaman 310).
 

Kecenderungan seseorang dalam beramal tanpa niat yang murni, disebabkan oleh kepentingan pribadi. Nantinya, kotoran kepentingan-kepentingan pribadi akan mengantarkan orientasi pamer terhadap orang lain.  Setelah mendapatkan sorotan, yang secara tidak langsung merupakan aktivitas riya', seluruh ibadah yang sudah dilakukan menjadi tidak bernilai.
 

Mayoritas ulama, sebagaimana yang dikutip As-Syatibi, untuk memantapkan keikhlasan beribadah seseorang, justru harus menghidupkan tipikal peribadatan yang memberatkan kepentingan pribadi dan hawa nafsu. Sehingga amal ibadah bukan menjadi sebuah tipu daya yang tidak menghasilkan apa-apa.
 

Pada akhirnya, pandangan seseorang yang ikhlas dalam beribadah, setiap saat senantiasa merasa sedang berhadapan langsung dengan Allah. Tentunya, tidak hanya menjaga tindakan dzahir, pun dalam kondisi hati. Dikutip dalam kitab Shahih Al-Bukhari:
 

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
 

Artinya, “Beribadahlah layaknya engkau melihatmu. Jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya dia melihatmu.” (HR Al-Bukhari).
 

Terjadinya berbagai pelanggaran syariat, salah satunya disebabkan kelalaian seseorang mengira bahwa Allah melepaskan pengawasan-Nya. Akibatnya, tidak hanya ibadah yang terbengkalai, kecenderungan hati yang tidak ikhlas akan semakin memperburuk seseorang. Semoga kita semua terus beribadah dalam keadaan ikhlas, terlebih saat di bulan Ramadhan. Wallahu a’lam.

Ustadz Shofi Mustajibullah, Mahasiswa Pascasarjana UNISMA dan Pengajar Pesantren Kampus Ainul Yaqin.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga