Sepak Bola Internasional, Romadhon,
Lamine Yamal, Sepak Bola, dan Puasa Ramadhan

Lamine Yamal, bintang muda sepak bola Barcelona yang baru berusia 17 tahun, menjadi sorotan setelah otoritas keagamaan di Spanyol mengizinkannya untuk tidak berpuasa pada hari pertandingan selama bulan Ramadhan. Keputusan ini diambil untuk menjaga kondisi fisik dan performa optimalnya sebagai atlet profesional, sebagaimana dilaporkan oleh situs berita AS dalam artikel berjudul “Lamine y el Ramadán: exento los días de partido” yang ditulis oleh Juan Jiménez."
Dalam Islam, seorang Muslim yang telah memenuhi syarat wajib puasa maka harus melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Hanya saja, terdapat pengecualian yang disebut dalam Al-Qur’an secara eksplisit namun general, yaitu:
وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَۖ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ١٨٥
Artinya, “Siapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari (yang ditinggalkannya) pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur.” (QS Al-Baqarah: 185)
Syekh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan, Islam adalah agama yang memberikan kemudahan dan tidak membebani umatnya di luar batas kemampuan mereka. Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu, seseorang diberikan keringanan untuk tidak berpuasa demi menjaga kesehatan dan menghindari kesulitan yang berlebihan.
يجوز للمريض والمسافر الإفطار في رمضان ، ويجب عليهما القضاء في وقت آخر. والمرض المبيح للفطر في رأي أكثر الفقهاء : هو الذي يؤدي إلى ضرر في النفس ، أو زيادة في العلة. والعبرة في ذلك بما يغلب على الظنّ. وهذا الضابط هو الذي يتفق مع حكمة الرخصة في الآية : وهي إرادة اليسر ودفع العسر
Artinya, “Orang yang sakit dan musafir diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadan, tetapi mereka wajib menggantinya di waktu lain. Menurut mayoritas ulama, sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang dapat menyebabkan bahaya bagi diri sendiri atau memperparah penyakit. Ukuran dalam hal ini didasarkan pada dugaan kuat. Ketentuan ini sejalan dengan hikmah keringanan dalam ayat, yaitu keinginan untuk memberikan kemudahan dan menghindari kesulitan.” (Lihat Tafsirul Munir, [Beirut, Darul Fikr, t.t.], jilid II, hlm. 136).
Kemudian dalam sebuah hadits, yang kualitasnya dipertanyakan oleh kritikus hadits, juga disebutkan tentang ketidakbolehan membatalkan puasa Ramadhan, kecuali jika ada uzur:
أنَّ رسولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - قال: مَن أفطَرَ يَومًا مِن رَمَضانَ في غَيرِ رُخصَةٍ رَخَّصَها اللهُ عَزَّ وجَلَّ له لَم يَقضِ عنه وإِن صامَ الدَّهرَ كُلَّه
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, Siapa pun yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari di bulan Ramadhan tanpa adanya rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh Allah ‘Azza wa Jalla, maka puasanya tidak akan bisa diganti (ditebus) meskipun ia berpuasa sepanjang masa.” (Hadits riwayat Ath-Tayalisi, Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dalam al-Kubra, dan Ibnu Khuzaimah melalui jalur Syu’bah dari Habib bin Abi Tsabit dari ‘Amarah bin ‘Umair dari Abu al-Mutawwis dari ayahnya dari Abu Hurairah).
Kata rukhshah dalam hadits di atas artinya keringanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa. Para ahli fiqih merumuskan secara detail tentang siapa saja yang boleh tidak berpuasa di siang hari bulan Ramadhan. Syekh Wahbah az-Zuhaili mengutip sebuah syair yang menghimpun keterangan tersebut:
وعوارض الصوم التي قد يغتفر للمرء فيها الفطر تسع تستطر حبل وإرضاع وإكراه سفر مرض جهاد جَوْعةعطش كبر
Artinya, “Faktor-faktor yang dapat memaafkan seseorang untuk berbuka (tidak berpuasa) ada sembilan, yang disebutkan secara berurutan: Kehamilan, menyusui, paksaan, perjalanan, sakit, jihad, kelaparan, kehausan, dan usia tua.” (Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Darul Fikr, t.t.], jilid III, hlm. 71).
Kemudian secara detail, “Pekerja berat” juga termasuk ke dalam rukhshah atau keringanan yang membolehkan seseorang tidak berpuasa, menurut Syekh Wahbah. Perhatikan penjelasan berikut:
صاحب العمل الشاق: قال أبو بكر الآجري: من صنعته شاقة، فإن خاف بالصوم تلفاً، أفطر وقضى إن ضره ترك الصنعة، فإن لم يضره تركها، أثم بالفطر، وإن لم ينتف التضرر بتركها، فلا إثم عليه بالفطر للعذر. وقرر جمهور الفقهاء أنه يجب على صاحب العمل الشاق كالحصاد والخباز والحداد وعمال المناجم أن يتسحر وينوي الصوم، فإن حصل له عطش شديد أو جوع شديد يخاف منه الضرر، جاز له الفطر، وعليه القضاء، فإن تحقق الضرر وجب الفطر، لقوله تعالى: {ولاتقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيماً} [النساء:29/4
Artinya, “Pekerja Berat dalam Pandangan Syariat: Abu Bakar Al-Ajurri berkata, ‘Bagi seseorang yang pekerjaannya berat, jika ia khawatir puasa dapat membahayakan dirinya hingga menyebabkan kerusakan (pada tubuh atau kehidupannya), maka ia boleh berbuka dan wajib menggantinya (qadha) jika meninggalkan pekerjaan tersebut membuatnya demikian. Namun, jika meninggalkan pekerjaan itu tidak mudharat baginya, ia berdosa jika berbuka. Sebaliknya, jika kerugian akibat meninggalkan pekerjaan tidak dapat dihindari, maka ia tidak berdosa jika berbuka karena ada uzur syar’i.’
Mayoritas ahli fiqih menetapkan bahwa pekerja berat, seperti petani yang memanen, tukang roti, pandai besi, atau pekerja tambang, wajib melakukan sahur dan berniat puasa. Namun, jika di tengah hari ia mengalami rasa haus atau lapar yang sangat parah hingga dikhawatirkan membahayakan dirinya, maka ia diperbolehkan berbuka dengan kewajiban menggantinya (qadha). Bahkan, jika bahaya itu benar-benar nyata, maka berbuka menjadi wajib baginya, berdasarkan firman Allah SWT: ‘Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.’ (QS. An-Nisa: 29).” (Lihat Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, jilid III, hlm. 71).
Kemudian, mengutip penjelasan Sa’id bin Muhammad Ba’ali Ba’asyin al-Hadhrami asy-Syafi’i dalam karyanya, Muqaddimah al-Hadhramiyyah atau dikenal dengan Busyral Karim:
ويلزم أهل العمل المشق في رمضان كالحصادين ونحوهم تبييت النية، ثم مَنْ لحقه منهم مشقة شديدة .. أفطر، وإلا .. فلا. ولا فرق بين الأجير والغني وغيره، والمتبرع وإن وجد غيره وتأتى لهم العمل ليلاً، كما قاله الشرقاوي: وقال في "لتحفة": إن لم يتأت لهم ليلاً. ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه على فطره .. جاز له، بل لزمه عند وجود المشقة الفطر، لكن بقدر الضرورة، ومن لزمه الفطر فصام .. صح صومه؛ لأن الحرمة لأمر خارج، ولا أثر لنحو صداع ومرض خفيف لا يخاف منه ما مر
Artinya, “Orang-orang yang melakukan pekerjaan berat di bulan Ramadan, seperti petani panen dan sejenisnya, wajib memantapkan niat puasa di malam hari (tabyitun niyah). Kemudian, jika salah satu dari mereka mengalami kesulitan yang sangat berat, ia boleh berbuka. Jika tidak, maka ia tidak boleh berbuka. Tidak ada perbedaan antara pekerja upahan, orang kaya, atau lainnya, termasuk mereka yang bekerja secara sukarela, meskipun ada orang lain yang bisa menggantikannya atau pekerjaan tersebut dapat dilakukan pada malam hari. Seperti yang dikatakan oleh Asy-Syarqawi, dan disebutkan dalam kitab Tuhfah, ‘Jika pekerjaan itu tidak memungkinkan dilakukan pada malam hari.’
Jika penghasilan seseorang, yang dibutuhkan untuk kebutuhan pokoknya atau orang yang ia tanggung, tergantung pada kebolehannya untuk berbuka, maka ia diperbolehkan berbuka. Bahkan, ia wajib berbuka jika mengalami kesulitan, namun hanya sebatas kebutuhan yang mendesak. Bagi seseorang yang wajib berbuka tetapi tetap berpuasa, puasanya tetap sah karena larangan berpuasa dalam kasus ini disebabkan oleh faktor eksternal (bukan esensi puasa itu sendiri). Namun, gangguan ringan seperti sakit kepala atau penyakit ringan yang tidak dikhawatirkan membawa dampak berat sebagaimana disebutkan sebelumnya, tidak berpengaruh (tidak menjadi alasan untuk berbuka).” (Lihat Busyral Karim, [Jeddah, Darul Minhaj, 2004], jilid I, hlm. 559)
Poin-poin penting terkait rukhshah meninggalkan puasa bagi pekerja berat dalam penjelasan yang disampaikan oleh Syekh Wahbah dan Sa’id Ba’asyin adalah sebagai berikut:
- Pekerja berat wajib berniat puasa di malam hari (tabyitun niyah) dan memulai puasa Ramadhan sebagaimana mestinya.
- Jika puasa menyebabkan kesulitan berat (misalnya kelaparan atau kehausan ekstrem) yang dikhawatirkan membahayakan kesehatan atau kehidupan, atau dengan berpuasa dapat membuatnya kehilangan nafkah yang dibutuhkan untuk diri sendiri atau keluarga, atau juga pekerjaannya tidak bisa dihindari dan tidak bisa dilakukan malam hari, maka pekerja boleh berbuka dan wajib menggantinya (qadha) di hari lain.
- Hukum ini berlaku sama untuk pekerja upahan, orang kaya, atau sukarelawan, tanpa terkecuali.
- Kesulitan ringan seperti sakit kepala atau lelah biasa tidak menjadi alasan untuk berbuka.
- Berbuka hanya boleh sebatas kebutuhan mendesak, sesuai kadar yang diperlukan untuk menghindari bahaya (masyaqqah).
Lamine Yamal, sebagai atlet profesional, masuk dalam kategori pekerja berat. Aktivitasnya di lapangan membutuhkan stamina, konsentrasi, dan kekuatan fisik yang prima, terutama pada hari pertandingan.
Menurut laporan AS, Barcelona telah mengonsultasikan hal ini dengan otoritas keagamaan, dan keputusan untuk membebaskan Lamine dari puasa pada hari pertandingan didukung oleh ahli gizi klub, Silvia Tremoleda. Langkah ini menunjukkan adanya pertimbangan yang selaras dengan kebutuhan profesional sang pemain tanpa mengabaikan aspek spiritualnya.
Kasus Lamine Yamal mencerminkan fleksibilitas syariat Islam dalam menyikapi dinamika kehidupan Muslim di dunia modern yang kompleks. Puasa memang merupakan kewajiban, namun mencari nafkah dan menjalankan amanah profesi juga memiliki kedudukan yang penting dalam Islam. Syariat tidak menjadikan kewajiban puasa sebagai penghalang bagi seseorang dalam mencari rezeki dan memenuhi tanggung jawab pekerjaannya.
Keputusan otoritas keagamaan Spanyol ini juga selaras dengan pendapat mayoritas ahli fiqih, seperti yang dikutip dari Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh dan Syekh Sa’id Ba’asyin dalam Busyral Karim.
Kasus ini menjadi contoh bagaimana syariat Islam dapat dijalankan dengan bijaksana di tengah tuntutan zaman. komitmen terhadap nilai-nilai Islam sekaligus dedikasi dalam menjalankan tugas profesional. Wallahu a’lam bish-shawab.
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Komentar
Posting Komentar