Romadhon
Kajian Hadits: Saat Syam dan Madinah Beda dalam Penentuan Awal Ramadhan
Ahad, 2 Maret 2025 | 18:30 WIB

Masjid. (Foto ilustrasi: NU Online/Freepik)

Download PDF
Dalam tradisi Islam, penentuan awal bulan Ramadan sangat penting. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan rukyatul hilal (melihat bulan). Praktik melihat hilal di masa Nabi tidak begitu dijelaskan secara spesifik dalam banyak riwayat. Salah satu contohnya adalah riwayat Ibnu ‘Umar berikut:
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلَالَ، فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّي رَأَيْتُهُ، فَصَامَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -، وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصِّيَامِ
Artinya: “Orang-orang melihat hilal, lalu saya memberitahukan kepada Rasulullah SAW bahwa saya telah melihatnya. Maka Rasulullah SAW berpuasa dan memerintahkan kepada orang-orang untuk berpuasa.” (HR Al-Baihaqi dalam al-Khilafiyat baynal Imam asy-Syafi’i wa Abi Hanifah wa Ashhabih, [Mesir, Raudhah, 1436], jilid V, hlm. 28).
Praktik yang tercantum dalam riwayat ini menunjukkan bahwa kesaksian dari individu tertentu, ketika disampaikan kepada pihak yang berwenang dan memiliki otoritas, dapat dijadikan dasar dalam penetapan awal puasa pada bulan Ramadhan.
Baca Juga
Doa Awal Bulan Ramadhan
Lebih lanjut, beberapa tokoh Muslim juga memiliki peran penting dalam menyaksikan hilal dan memberikan kesaksian kepada pemerintah, baik terkait penetapan awal Ramadhan atau satu Syawal. Contohnya adalah diskusi hilal satu Syawal yang terjadi antara Mu’awiyah, seorang sahabat Nabi sekaligus pendiri dinasti Umawi, Ibnu ‘Abbas, sahabat sekaligus sepupu Nabi, dan Kuraib, seorang tokoh tabi’in, alias generasi yang hidup setelah masa sahabat.
Persoalan yang sering muncul adalah apakah rukyat (pengamatan bulan sabit) yang terjadi di suatu daerah juga berlaku untuk daerah lain yang memiliki lokasi geografis berbeda. Perbedaan ini melahirkan dua pandangan di kalangan ulama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa masyarakat di suatu daerah harus mengikuti rukyat yang dilakukan di daerah lain. Sementara yang lain berpendapat bahwa setiap daerah memiliki rukyat sendiri yang tidak terikat dengan daerah lain.
Salah satu riwayat yang menjadi dasar perbedaan pendapat ini adalah kisah yang diriwayatkan sekaligus dialami oleh Kuraib, yang menjelaskan perbedaan penetapan awal Ramadan antara penduduk Syam dan Madinah.
Riwayat ini ditulis oleh Al-Baihaqi dan mencakup diskusi antara Ibnu ‘Abbas, Muawiyah, dan Kuraib mengenai penentuan hilal awal dan akhir bulan Ramadan. Dari hadits ini, para ulama merujuk pada metode rukyatul hilal sebagai tanda masuknya bulan baru (Al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubra, [Hyderabad: Majlis Dairah al-Ma’arif, 1344], jilid IV, hlm. 251).
عَنْ كُرَيْبٍ: أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا فَاسْتُهِلَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلاَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِى آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِى عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ عَنِ الْهِلاَلَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ قُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ قَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ قُلْتُ: نَعَمْ وَرَءَاهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلاَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ : أَوَلاَ نَكْتَفِى بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ قَالَ: لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
Baca Juga
Penentuan Awal Bulan Qamariyah Perspektif NU
Artinya: “Dari Kuraib, bahwa Ummul Fadhl binti Harits mengutusnya kepada Mu’awiyah di Syam (Suriah). Ia berkata, ‘Aku tiba di Syam dan menunaikan keperluan yang diamanahkan kepadaku. Bulan Ramadhan pun masuk saat aku berada di Syam, dan aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jumat. Kemudian aku tiba di Madinah di akhir bulan (Ramadhan). Ibnu Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, lalu ia berkata, “Kapan kalian melihat hilal?” Aku menjawab, “Kami melihatnya pada malam Jumat.” Ibnu Abbas bertanya, “Apakah engkau sendiri yang melihatnya?” Aku (Kuraib) menjawab, “Ya, dan orang-orang juga melihatnya, lalu mereka berpuasa, dan Mu’awiyah pun berpuasa.” Ibnu Abbas berkata, “Namun kami melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga menyempurnakan tiga puluh hari, atau kami sendiri yang melihat hilal tersebut.” Aku (Kuraib) bertanya, “Tidakkah kita cukup dengan rukyat (melihat hilal) hasil rukyat Mu’awiyah?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, demikianlah yang diperintahkan Rasulullah kepada kami.” (HR Muslim)
Menurut Al-Baihaqi, Ibnu Abbas berpendapat bahwa puasa sebaiknya didasarkan pada rukyat yang dilihatnya sendiri di daerah tempat ia berada. Jika di akhir Ramadan ia tidak melihat hilal, maka ia harus menyempurnakan puasa hingga mencapai 30 hari.
Ibnu Abbas tidak menganggap sah rukyat dari negeri lain tanpa adanya persaksian dua orang, hingga jumlah hari puasa ditentukan dengan rukyat setempat, karena Kuraib hanya menyampaikan kabar tersebut seorang diri (Al-Baihaqi, IV/251).
Kuraib sendiri adalah mantan budak Ibnu Abbas, dan kedekatannya dengan mantan tuannya tersebut tercatat dalam Tahdzibul Kamal (XXIV/172). Musa bin ‘Uqbah menceritakan, bahwa Kuraib pernah membawa satu unta penuh catatan-catatan Ibnu Abbas ke wilayah mereka, dan Ali bin Abdullah bin Abbas sering meminta Kuraib untuk menyalin catatan tersebut.
Terkait penolakan Ibnu Abbas terhadap hasil rukyat Kuraib, hadits yang dibahas menunjukkan bahwa penduduk suatu negara wajib mengikuti rukyat yang mereka lakukan sendiri. Menurut Al-Qurthubi, hadits ini menegaskan bahwa setiap komunitas memiliki hak untuk menentukan awal bulan Ramadhan berdasarkan penglihatan hilal yang mereka saksikan, tanpa terikat pada hasil rukyat dari negara lain.
Al-Qurthubi juga menjelaskan bahwa masalah ini merupakan ranah ijtihad yang dapat menghasilkan perbedaan pendapat. Oleh karena itu, tidak ada ruang untuk ijtihad yang bertentangan dengan keputusan pemimpin negara. Sebagai contoh, Muawiyah, Amirul Mukminin, berpuasa berdasarkan penglihatan hilal di Syam, sementara Ibnu Abbas tetap berpegang pada pendapatnya sendiri sebagai warga yang sedang tinggal di Madinah. Sikap ini menunjukkan bahwa setiap komunitas memiliki otonomi dalam menentukan waktu puasa mereka berdasarkan pengamatan yang sah (Al-Mufhim li ma Asykala min Talkhish Kitab Muslim, [Beirut, Dar Ibn Katsir, 1996], jilid III, hlm. 144).
Penting dipahami, bahwa kesimpulan masing-masing daerah harus berpuasa berdasarkan hasil rukyat daerah masing-masing muncul bukan berdasarkan pendapat Ibnu ‘Abbas sebagai warga Madinah yang menolak hasil rukyat Kuraib sebagai warga Syam (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.], jilid III, hlm. 309).
Namun kesimpulan tersebut muncul dari sebuah riwayat yang dituliskan Imam Bukhari dan Muslim, di mana substansinya selaras dengan pendapat Ibnu ‘Abbas, yaitu:
لا تصوموا حتى تروا الهلال ولا تفطروا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
Artinya: “Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka hingga kalian melihatnya. Jika bulan sabit tertutup dari kalian, maka sempurnakanlah jumlahnya hingga tiga puluh.” (HR Bukhari dan Muslim).
Kesimpulannya, penentuan awal bulan Ramadhan dalam tradisi Islam sangat bergantung pada praktik rukyatul hilal, yang merupakan pengamatan langsung terhadap bulan sabit. Riwayat dari Ibnu ‘Umar menunjukkan bahwa kesaksian individu dapat dijadikan dasar untuk menetapkan awal puasa, asalkan disampaikan kepada pihak yang berwenang.
Diskusi antara Kuraib, Muawiyah, dan Ibnu Abbas menyoroti perbedaan-pandangan di kalangan ulama mengenai apakah rukyat di suatu daerah berlaku untuk daerah lain. Sementara sebagian ulama berpendapat bahwa setiap daerah harus mengikuti rukyat mereka sendiri, yang lain berpendapat bahwa rukyat dari daerah lain juga dapat diterima.
Penolakan Ibnu Abbas terhadap hasil rukyat Kuraib menegaskan pentingnya mengikuti pengamatan hilal skala lokal, dan menunjukkan bahwa setiap komunitas memiliki otonomi dalam menentukan waktu puasa mereka.
Dengan demikian, kesimpulan bahwa setiap daerah harus berpuasa berdasarkan rukyat mereka sendiri didukung oleh hadits yang menyatakan bahwa puasa dan berbuka harus didasarkan pada penglihatan hilal. Jika hilal tidak terlihat, jumlah puasa harus disempurnakan hingga 30 hari. Wallahu a’lam.
Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta
Baca Juga
- Kajian Hadits: Saat Syam dan Madinah Beda dalam Penentuan Awal Ramadhan - NU Online
- Banjir Besar Landa Makkah, Madinah, dan Jeddah Akibat Cuaca Ekstrem
- Khutbah Jumat: 6 Etika Berpuasa di Bulan Ramadhan | NU Online Jatim
- Kultum Ramadhan: Pentingnya Mengendalikan Amarah - NU Online
- Adee Ie Leubeue Kembang Tanjung: Manisnya Tradisi yang Mengikat Rindu Perantau di Bulan Ramadhan - NU Online
- Kisah Mualaf Belanda dan Tionghoa yang Memeluk Islam lewat Cabang-cabang NU - NU 5px,
- Semarak Ramadhan, PCINU Qatar Bagikan 500 Paket Ifthar dan Sajadah - NU Online
Komentar
Posting Komentar