Biografi Panembahan Senopati ( Raden Danang Sutawijaya) Pendiri Kesultanan Mataram Islam | Profil Ulama › LADUNI ID

 

Biografi Panembahan Senopati ( Raden Danang Sutawijaya) Pendiri Kesultanan Mataram Islam | Profil Ulama › LADUNI.ID

Biografi Panembahan Senopati ( Raden Danang Sutawijaya) Pendiri Kesultanan Mataram Islam

6.  Referensi

1   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir

Panembahan Senopati Lahir sekitar tahun 1545 an. Beliau adalah Putra Kyai Ageng Pemanahan dan Syarifah Sabinah yang masih cicit dari Sunan Giri. Beliau dillahirkan di daerah Selo Grobogan dan terlahir dengan nama Raden Bagus Dananjaya ada yang menyebut Raden Bagus Srubut. Beliau juga memiliki nama-nama panggilan lainnya, diantaranya :

  1. Panembahan Senopati
  2. Raden Bagus Dananjaya
  3. Danang Sutawijaya
  4. Raden Ngabehi lor’ing Pasar
  5. Raden Ngabehi Salering Peken
  6. Risang Sutawijaya
  7. Panembahan Seda ing Kajenar
  8. Raden Bagus Srubut

1.2 Riwayat Keluarga Panembahan Senopati

Dalam Catatan Nasab Kelembagaan Negara dimasa sesudahnya (Negara Kerajaan/ Mataram Raya) beliau memiliki Banyak Putra dan Putri Total tercatat 14 Orang
Istri Pertama putri Kyai Ageng Penjawi Waskita Jawi menjadi permaisuri Panembahan Senapati, bergelar Kanjeng Ratu Mas.
Istri Kedua adalah Retno Dumilah Putri Adipati Madiun yang ditaklukkan.
Istri ketiga adalah Rara Lembayung Putri Kyai Ageng Giring yang dikaruniai banyak putra dan putri di antaranya :

  1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
  2. Pangeran Ronggo Samudra (Raja muda Pati)
  3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Raja muda Demak)
  4. Pangeran Teposono
  5. Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
  6. Pangeran Rio Manggala
  7. Pangeran Raja muda Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
  8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak
  9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
  10. Gusti Raden Ayu Wiramantri
  11. Pangeran Raja muda Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
  12. Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
  13. Pangeran Raja muda Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
  14. Pangeran Tanpa Nangkil

1.3 Nasab Panembahan Senopati

Panembahan Senopati jika diambil dari garis Ayah Masih keturunan Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi dengan Jalur Silisilah sebagai berikut :

  1. Prabu Brawijaya V Bhre Kertabhumi
  2. Bondan Kejawan atau Lembu Peteng
  3. Ki Getas Pandawa
  4. Ki Ageng Selo
  5. Ki Ageng Enis
  6. Ki Ageng Pemanahan
  7. Panembahan Senopati

Panembahan Senopati jika diambil dari garis ibu beliau masih keturunan dari Rasulullah SAW. Dengan Jalur silsilah sebagai berikut:

  1. Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
  2. Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib
  3. Al-Imam Al-Husain
  4. Al-Imam Ali Zainal Abidin
  5. Al-Imam Muhammad Al-Baqir
  6. Al-Imam Ja’far Shadiq
  7. Al-Imam Ali Al-Uraidhi
  8. Al-Imam Muhammad An-Naqib
  9. Al-Imam Isa Ar-Rumi
  10. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
  11. As-Sayyid Ubaidillah
  12. As-Sayyid Alwi
  13. As-Sayyid Muhammad
  14. As-Sayyid Alwi 
  15. As-Sayyid Ali Khali’ Qasam
  16. As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
  17. As-Sayyid Alwi Ammil Faqih 
  18. As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan
  19. As-Sayyid Abdullah
  20. As-Sayyid Ahmad Jalaluddin
  21. As-Sayyid Husain Jamaluddin 
  22. As-Sayyid Ibrahim Zainuddin As-Samarqandy
  23. As-Sayyid Maulana Ishaq
  24. Ainul Yaqin (Sunan Giri)
  25. Sunan Kidul
  26. Pangeran Sobo
  27. Nyai Ageng Pemanahan atau Syarifah Sabinah
  28. Panembahan Senopati atau Danang Sutawijaya atau Danang Bagus

1.4 Wafat

Panembahan Senapati meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar, kemudian diberi gelar sebagai Panembahan Seda ing Kajenar (Panembahan yang meninggal di Kajenar). dan dimakamkan di Makam Hastana Kitha Ageng Kotagede.

2  Sanad Ilmu dan Pendidikan Panembahan Senopati

Beliau dibesarkan dan dididik oleh ayahanda Ki Ageng Pemanahan dan diangkat anak angkat oleh Sultan Hadiwijaya

2.1 Guru-guru Ki Ageng Pamanahan 

  1. Kyai Ageng Pemanahan
  2. Sultan Hadiwijaya
  3. Sunan Kalijaga
  4. Kyai Ageng Enis
  5. Kyai Penjawi
  6. Kyai Ageng Mertani
  7. Kyai Ageng Giring

3  Penerus Panembahan Senopati

3.1 Anak-anak Panembahan Senopati

  1. Gusti Kanjeng Ratu Pambayun / Retna Pembayun
  2. Pangeran Ronggo Samudra (Raja muda Pati)
  3. Pangeran Puger / Raden Mas Kentol Kejuro (Raja muda Demak)
  4. Pangeran Teposono
  5. Pangeran Purbaya / Raden Mas Damar
  6. Pangeran Rio Manggala
  7. Pangeran Raja muda Jayaraga / (Raden Mas Barthotot)
  8. Panembahan Hadi Prabu Hanyokrowati/Panembahan Seda ing Krapyak
  9. Gusti Raden Ayu Demang Tanpa Nangkil
  10. Gusti Raden Ayu Wiramantri
  11. Pangeran Raja muda Pringgoloyo I (Bupati Madiun, 1595-1601)
  12. Ki Ageng Panembahan Djuminah/Pangeran Djuminah/Pangeran Blitar I (Bupati Madiun, 1601-1613)
  13. Pangeran Raja muda Martoloyo / Raden Mas Kanitren (Bupati Madiun 1613-1645)
  14. Pangeran Tanpa Nangkil

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah Panembahan Senopati

Panêmbahan Senopati; adalah bapak dari wangsa Mataram  dan merupakan  Panembahan  (pemimpin)  pertama  dari Mataram, yang di masanya masih berupa kadipaten. Beliau mewarisi jabatan ayahnya sebagai adipati Mataram di bawah Kesultanan Pajang. Saat kesultanan tersebut mengalami gonjang-ganjing, Senopati memerdekakan diri dan memerintah Mataram hingga menjadi kerajaan yang berdaulat

Berdasarkan serat atau naskah babad seperti Serat Bauwarna, Serat Centhini, Babad Tanah Jawi dan beberapa naskah lainnya disebutkan bahwa Panembahan Senopati memiliki beberapa nama kecil dan julukan diantaranya; Raden Bagus Dananjaya, Raden Ngabehi Saloring Pasar, Raden Ngabehi Salering Peken, Risang Sutawijaya, dan Danang Sutawijaya, yang lebih dikenal di kemudian hari.

Panembahan Senopati adalah putra sulung dari pasangan Kyai Ageng Pamanahan dan Nyai Ageng Pamanahan. Ibunya adalah adik dari Kyai Juru Martani, yang menjadi patih pertama Mataram pada masa pemerintahannya. Kyai Ageng Pamanahan dan istrinya Nyai Ageng Pamanahan pun tidak keberatan. Hal tersebut dikarenakan hubungan mereka sudah sangat baik layaknya kakak beradik.
“Kanda, saya berjanji akan merawat Danang Sutawijaya layaknya darah daging saya.”
“Sungguh kami tidak keberatan, justru kami sangat senang anak kami mendapat kasih sayang yang besar.”

Kehadiran Danang Sutawijaya mampu mengobati kehampaan hati Sultan Hadiwijaya yang tidak memiliki keturunan. Kemudian beliau dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Setelah dewasa Danang Sutawijaya diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar.
Hal tersebut menjadikan Danang Sutawijaya dikenal dengan sebutan Raden Ngabehi Saloring Pasar. Hadiwijaya begitu menyayangi Danang Sutawijaya seperti anaknya sendiri.Meskipun daftar raja-raja Mataram selalu menempatkan Panembahan Senopati berada dalam urutan pertama, gelar sultan baru resmi digunakan pada tahun 1641 di masa kekuasaan cucunya, Anyakrakusuma. Sutawijaya masih mempertahankan gelar lamanya, panembahan, dapat disepadankan dengan adipati atau kepala pemerintahan dalam konteks ini, gelar yang beliau sandang saat masih menjadi bawahan Kesultanan Pajang.

Semenjak kecil beliau di didik oleh ayahanda dan kakek beliau yaitu Kyai Ageng Enis yang menjadi penasehat spiritual dari Sultan Hadiwijaya. Dan juga beliau didik sendiri oleh Sultan Hadiwijaya hingga Pangeran Benawa Lahir. Dalam bidang agama selain dididik oleh kakeknya Kyai Ageng Enis, beliau bersama-sama dengan Pangeran Benawa juga diajari oleh Sunan Kalijaga.Maka tak heran lah jika semenjak kecil beliau sudah menjadi orang mumpuni. Karena banyak sekali yang menyayanginya. Selain olah kanuragan beliau juga sangat pintar dalam hal Agama dan strategi. Karena hal itulah beliau diberi julukan Panembahan Senopati.

Ketika menginjak dewasa di Demak sedang terjadi keributan dengan kadipaten Jipang yang dipimpin oleh Arya Penangsang. Dan masalah tersebut membuat Sultan Hadiwijaya terpaksa  turun tangan dikarenakan  di mintai tolong  oleh Ratu Kalinyamat. Dari hal itu maka di buatlah sayembara. Barang siapa yang bisa menumpas pemberontakan Arya penangsang akan di beri hadiah tanah Perdikan. Kyai Ageng Pamanahan, ayah Senopati ikut serta dalam sayembara tersebut bersama Kyai Panjawi dan Kyai Juru Martani dari Pajang menuju Demak. Beliau membantu Jaka Tingkir dari pemberontakan Arya Panangsang atas Demak.

Sultan Hadiwjaya melakukan sayembara bukan dikarenakan tidak sanggup membunuh Arya Penangsang dengan tangannya sendiri tetapi dikarenakan perbedaan status. Waktu itu, Sultan Hadiwijaya berstatus sebagai Raja atau penguasa Kerajaan Pajang, sedangkan Arya Penangsang hanya berstatus sebagai Adipati Demak. Antara raja dan adipati terdapat perbedaan status yang  sangat  tinggi.  Kedudukan  seorang  raja  jauh  lebih  tinggi  daripada kedudukan seorang adipati. Karena itulah, Sultan Hadiiwjaya merasa malu sebagai raja jika harus melawan sendiri Arya Penangsang yang seorang Adipati

Panembahan Senopati yang juga anak angkat Sultan Adiwijaya, ikut serta membantu ayahnya, Kyai Ageng Pamanahan dalam sayembara melawan Arya Panangsang. Karena Adiwijaya mengkhawatirkan putra angkatnya turut dalam melaksanakan tugas tersebut, beliau memberikan bantuan pasukan Pajang untuk membantunya berperang. Perang antara pasukan Pajang melawan Arya Panangsang terjadi di dekat Bengawan Sore. Berkat siasat cerdik yang disusun Kyai Juru Martani, Arya Panangsang berhasil tumpas di tangan Panembahan Senopati.

Sebenarnya Panembahan Senopati yang berhasil membunuh Arya Penangsang.akan tetapi dikarenakan sebelumnya ada ramalan dari Sunan Prapen bahwa Mataram akan menjadi Kerajaan besar setelah Pajang. Maka oleh Kyai Juru Martani dilaporkan kepada Sultan Hadiwijaya bahwa yang berhasil menumpas pemberontakan adalah Kyai Ageng Pemanahan dan Kyai Ageng Penjawi. Hal ini dilakukan untuk menutupi keberhasilan Panembahan Senopati agar kelak tidak di persulit oleh Sultan Hadiwijaya.
Atas keberhasilan tersebut Kyai Ageng Panjawi diberikan tanah perdikan di daerah Pati dan Kyai Ageng Pemanahan (putra dari Kyai Ageng Enis dan cucu Kyai Ageng Sela), diberi imbalan daerah Mataram, yaitu daerah di hutan Mentaok (sekitar Kota Gedhe, Yogyakarta) pada tahun 1558 Masehi untuk dijadikan tempat pemukiman yang baru.Pemberian  tanah  di  daerah  Mataram  oleh  Hadiwijaya kepada  Kyai  Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang bagi perkembangan Kesultanan Pajang sendiri, karena  Mataram  setelah  diberikan  oleh  Kyai  Ageng  Pemanahan  dan seharusnya menjadi wilayah bagian di Kesultanan Pajang, justru menjadi wilayah yang  lebih  maju  . Kyai Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan sebutan Kyai Gedhe Mataram,  dalam  waktu  singkat  mampu  membuat  Mataram  beserta rakyatnya maju. Kyai Ageng Pamanahan berjanji setia kepada Sultan Adiwijaya yang memberinya izin mendirikan tanah perdikan (kadipaten) di Mentaok yang saat itu masih merupakan wilayah selatan Pajang.

Sepeninggal Kyai Ageng Pamanahan tahun 1584, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senopati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun 1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senopati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senopati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.

Senopati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Beliau sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan Gunung Merapi. Senopati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senopati.Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban, Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senopati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senopati) dengan Arya Pamalad. Tapi oleh Pangeran Benawa dilaporkan bahwa hal itu terjadi karena ketidak sengajaan. 

Pada tahun 1582 seorang keponakan Danang Sutawijaya yang tinggal di Pajang, bernama Pangeran Pabelan (putera Tumenggung Mayang dengan adik perempuan Danang Sutawijaya) dihukum mati karena berani menyusup ke dalam Keraton Puteri Kasultanan Pajang untuk menemui Ratu Sekar Kedaton (puteri Sultan Hadiwijaya, yang memiliki kecantikan dan kebaikan hati yang luar biasa).
Ayah Pangeran Pabelan yang bernama Tumenggung Mayang pun ikut dijatuhi hukuman dibuang ke daerah Semarang karena diduga ikut membantu Pangeran Pabelan. Ibu Pangeran Pabelan yang merupakan adik perempuan Danang Sutawijaya meminta bantuan ke  Mataram. Maka dari itu, Danang Sutawijaya berniat untuk mencegah pasukan Kasultanan Pajang ditengah perjalanan dari Kasultanan Pajang menuju Semarang yang membawa Tumenggung Mayang. Akhirnya, utusan Mataram berhasil mencegah pasukan Kasultanan Pajang membawa Tumenggung Mayang ke Semarang, karena kebetulan disaat yang sama terjadi peristiwa alam yaitu meletusnya Gunung Merapi, peristiwa inilah yang mengakibatkan stigma yang terbentuk bahwa Danang Sutawijaya melakukan pemberontakan terhadap Kasultanan Pajang.Keberhasilan utusan Mataram berhasil mencegah pasukan Kasultanan Pajang membawa Tumenggung Mayang ke Semarang ini menjadi akhir dari pemerintahan dari Sultan Hadiwijaya.

Kampanye militer yang dilakukan Senopati setelah mangkatnya Sultan Adiwijaya adalah pendudukan daerah-daerah brang wetan yang banyak melepaskan diri dari Pajang. Persekutuan adipati brang wetan tetap dipimpin Surabaya sebagai kadipaten terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Kesunanan Giri.Selain Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Kyai Panjawi. Kakak perempuannya, Waskita Jawi menjadi permaisuri Senopati, bergelar Kanjeng Ratu Mas. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakak perempuannya.

Setelah itu, di Pajang sedang terjadi perebutan kekuasaan besar-besaran yang terjadi setelah Sultan Adiwijaya wafat pada tahun 1582. Pewaris Adiwijaya seharusnya adalah Pangeran Benawa, yang digulingkan takhtanya oleh Arya Pangiri. Arya Pangiri adalah menantu Sultan Adiwijaya yang menjadi adipati Demak pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa.

Sejak saat itu Mataram mulai melepaskan kekuasaannya dari Pajang. Di bawah Panembahan Senopati, Mataram mulai melancarkan kampanye militer melawan Pajang. Senopati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan yang merdeka. Beliau sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual. Senopati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga berdatangan kepadanya dengan harapan dapat melemahkan Pajang. Selain itu, Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senopati, karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang antara Pajang melawan Mataram pun terjadi dengan akhir kekalahan Arya Pangiri.

Pangeran Benawa akhirnya diangkat menjadi Raja Pajang. Hanya berselang satu tahun Pangeran Benawa menjadi Raja Pajang beliau menyerahkan kekuasaan sepenuhnya Keseltanan Pajang kepada Mataram, dikarenakan jiwa beliau lebih memilih menjadi ulama menyebarkan dakwah Agama Islam daripada menjadi penguasa. Dan beliau berwasiat agar Pajang bergabung dengan Mataram. Senopati ditunjuk untuk menggantikan posisinya. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, akhirnya ditunjuk Pangeran Gagak Baning sebagai adipati yang tak lain adalah adik Senopati. 

Danang Sutawijaya akhirnya mampu menjadikan Kerajaan Mataram sebagai kerajaan yang memiliki kekuasaan penuh. Danang Sutawijaya memproklamirkan Mataram sebagai Kerajaan Islam yang berdiri sendiri dan menggunakan gelar Panembahan Senopati Khalifatullah Sayyidin Penatagama. Semenjak itulah Danang Sutawijaya dikenal dengan nama Panembahan Senopati (1586-1601), dengan ibu kota kerajaan berada di Kotagede.Panembahan Senopati berkeinginan menjadikan Kerajaan Mataram sebagai tonggak kerajaan di Jawa, perluasan wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram pun kemudian dilakukan ke sebagian Jawa Tengah (Mataram, Pajang, dan Demak), serta ke sebagian Jawa Timur (Madiun).Maka sejak tahun 1586, Senopati menjadi raja pertama Mataram bergelar panembahan. Ia tidak memakai gelar susuhunan atau sultan karena menghormati Sultan Adiwijaya dan Pangeran Benawa. Pusat pemerintahannya terletak di Kotagede.

Pada tahun 1590 gabungan pasukan Mataram, Pajang, Pati, dan Demak bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jumena (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui siasat yang cerdik, Madiun berhasil ditundukkan. Rangga Jumena melarikan diri ke Surabaya. Rangga Jumena setelah mengalami kekalahan kemudian mengandalkan putrinya yang cantik, yaitu Ratna Dumilah untuk membuat siasat mengalahkan Panembahan Senopati.

Bujuk rayu Senopati yang berwajah tampan dan tegap dapat menaklukkan hati Ratna Dumilah, karena Senopati datang ke Madiun bukan untuk menaklukkan melainkan untuk mempersatukan darah Mataram dan darah Demak agar dapat menjadi kerajaan yang bersatu. Ratna Dumilah sebagai seorang wanita terhormat tidak mau menyerah kepada bujuk rayu Senopati, dan perlu membuktikan bahwa Senopati unggul dalam peperangan.Setelah terbukti kesaktian Senopati, akhirnya Ratna Dumilah menyerah dan dipersunting oleh Panembahan Senopati. Dari kisah Panembahan Senopati dan Ratna Dumilah itulah oleh KGPAA Mangkunagara IV diciptakan sebuah tari yang bernama Tari Bedaya Bedah Madiun.

Pada tahun 1591 terjadi konflik suksesi di Kediri sepeninggal Pangeran Mas. Setelah Pangeran Mas wafat, Pangeran Surabaya menempatkan Ratu Jalu sebagai penguasa di Kediri. Tindakan itu ternyata menimbulkan kekecewaan keluarga Pangeran Mas. Saudara Pangeran Mas yang bergelar Senopati Kediri terusir posisinya oleh adipati baru bernama Ratu Jalu hasil pilihan Surabaya. Senopati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat oleh Senopati dan dibantu merebut kembali takhta Kediri.
Pada tahun 1595 adipati Pasuruan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan oleh Senopati dalam sebuah perang tanding. Beliau kemudian ditumpas sendiri oleh adipati Pasuruan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.

Pada tahun 1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Ratna Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senopati. Perang kemudian terjadi di dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram dipimpin langsung oleh Senopati sendiri dan berhasil meredamkan pemberontakan itu.

Panembahan Senopati meninggal dunia pada tahun 1601 saat berada di desa Kajenar, kemudian diberi gelar sebagai Panembahan Seda ing Kajenar (Panembahan yang meninggal di Kajenar). dan dimakamkan di Makam Hastana Kitha Ageng Kotagede. Setelah Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Raden Mas Jolang (putera Panembahan Senopati dengan Ratu Mas Waskitajawi, puteri Kyai Ageng Penjawi). Raden Mas Jolang naik takhta dengan gelar Panembahan Hadi Prabu Hanyakrawati (1601-1613) atau Panembahan Seda Ing Krapyak atau dikenal dengan nama Panembahan Hanyakrawati, dengan ibu kota kerajaan tetap berada di Kotagede.

5   Keteladanan Panembahan Senopati

Panêmbahan Senopati; adalah bapak dari wangsa Mataram  dan merupakan  Panembahan  (pemimpin)  pertama  dari Mataram, yang di masanya masih berupa kadipaten. Beliau mewarisi jabatan ayahnya sebagai adipati Mataram di bawah Kesultanan Pajang. Saat kesultanan tersebut mengalami gonjang-ganjing, Senopati memerdekakan diri dan memerintah Mataram hingga menjadi kerajaan yang berdaulat
Berdasarkan serat atau naskah babad seperti Serat Bauwarna, Serat Centhini, Babad Tanah Jawi dan beberapa naskah lainnya disebutkan bahwa Panembahan Senopati memiliki beberapa nama kecil dan julukan diantaranya; Raden Bagus Dananjaya, Raden Ngabehi Saloring Pasar, Raden Ngabehi Salering Peken, Risang Sutawijaya, dan Danang Sutawijaya, yang lebih dikenal di kemudian hari.
Panembahan Senopati adalah putra sulung dari pasangan Kyai Ageng Pamanahan dan Nyai Ageng Pamanahan. Ibunya adalah adik dari Kyai Juru Martani, yang menjadi patih pertama Mataram pada masa pemerintahannya. Kyai Ageng Pamanahan dan istrinya Nyai Ageng Pamanahan pun tidak keberatan. Hal tersebut dikarenakan hubungan mereka sudah sangat baik layaknya kakak beradik.
Panembahan Senopati pada tahun 1584 mendeklarasikan terbentuknya Kesultanan atau Kerajaan Mataram Islam di alas Mentaok. Alas Mentaok adalah sebuah daerah yang saat ini dikenal dengan sebutan kota Yogyakarta.

Setelah Kesultanan Pajang runtuh di tahun 1587, Kesultanan Pajang akhirnya mengakui keberadaan Kerajaan Mataram Islam.
Panembahan Senopati selaku pendiri dari Kesultanan Mataram Islam kemudian menobatkan dirinya sebagai raja sekaligus sultan pertama yang memiliki gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Panembahan Senopati wafat pada tahun 1601 dan dimakamkan di Kotagede Yogyakarta.

6   Referensi

  1. Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
  2. Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
  3. Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
  4. Purwadi (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
  5. Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: NarasiSuroyo,  A.M.  Djuliati,  dkk.  1995.  Penelitian  Lokasi  Bekas  Kraton  Serat Kandhaning Ringgit Purwa. Koleksi KGB. No 7.
  6. Sudibya, Z.H. 1980. Babad Tanah Jawi. Jakarta: Proyek Peneribitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
  7. Kartodirdjo, Sartono (ed.). 1977. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
  8. G.P.H. Hadiwidjojo (1956). Paparabipun Para Nata Surakarta wiwit Mataram. Prabuwinatan, Surakarta. Jumênêng 1586 surud 1601, seda ing Kajênar
  9. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Kanisius.
  10. Purwadi (2001). Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik. Yogyakarta: Pustaka Alif.

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

  • Belum ada Muhibbin yang terdaftar

Baca Juga

Komentar

Baca Juga