Hikmah Keringanan Puasa Berkat Umar bin Khattab: Perubahan Waktu Puasa yang Memudahkan Umat Islam - NU Online
Romadhon
Hikmah Keringanan Puasa Berkat Umar bin Khattab: Perubahan Waktu Puasa yang Memudahkan Umat Islam
Senin, 3 Maret 2025 | 07:00 WIB

Kisah keringanan puasa dari Umar bin Khattab (NU Online)

Download PDF
Puasa merupakan ibadah yang menjadi rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya. Sebagai ibadah, puasa tak hanya sekedar menahan makan dan minum serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa. Puasa juga merupakan sarana dalam untuk meredam hawa nafsu yang menyebabkan kriminalitas terutama kriminal yang berhubungan dengan seksualitas.
Kewajiban puasa sendiri tertuang firman Allah:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 183).
Baca Juga
Makna dan Hikmah Puasa Ramadhan Menurut Kiai Zakky Mubarak
Perubahan Waktu Puasa
Dalam praktiknya, ibadah puasa dilaksanakan dengan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa dimulai dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenam matahari.
Namun, jika ditilik dari sejarah, pada periode awal Islam waktu pelaksanaan puasa sebenarnya dimulai dari setelah shalat Isya ataupun setelah seorang muslim tertidur setelah waktu berbuka, bukan dari terbitnya fajar shadiq hingga terbenam matahari.
Dalam artian, jika seorang Muslim tertidur setelah magrib atau telah melaksanakan shalat Isya maka ia telah memasuki waktu puasa selanjutnya dan tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Hal itu membuat banyak sahabat Nabi Muhammad Saw termasuk Umar bin Khattab merasakan kepayahan yang luar biasa. Hingga pada satu waktu, Umar bin Khattab menggauli istrinya setelah melaksanakan shalat Isya. Umar yang sadar telah melaksanakan kesalahan kemudian menangis dan mencela dirinya sendiri.
Kemudian ia mendatangi Nabi Muhammad Saw beserta sahabat Nabi lainnya untuk mengadukan hal yang sama.
Mari kita simak penjelasan Syekh Nawawi Al-Bantani berikut:
كَانَ فِي أَوَّلِ شَرِيعَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ الصَّائِمُ حَلَّ لَهُ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ وَالْوِقَاعُ بِشَرْطِ أَنْ لَا يَنَامَ، وَلَا يُصَلِّيَ الْعِشَاءَ الْأَخِيرَةَ. فَإِذَا فَعَلَ أَحَدُهُمَا بِأَنْ نَامَ أَوْ صَلَّى الْعِشَاءَ حَرُمَ عَلَيْهِ هَذِهِ الْأَشْيَاءُ إِلَى اللَّيْلَةِ الْقَابِلَةِ. فَوَاقَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَهْلَهُ بَعْدَ صَلَاةِ الْعِشَاءِ فَلَمَّا اغْتَسَلَ أَخَذَ يَبْكِي وَيَلُومُ نَفْسَهُ فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاعْتَذَرَ إِلَيْهِ، فَقَامَ رِجَالٌ وَاعْتَرَفُوا بِالْجِمَاعِ بَعْدَ الْعِشَاءِ
Artinya, “Pada periode awal syariat Nabi Muhammad Saw, apabila seorang muslim masuk waktu berbuka puasa, maka halal baginya makan, minum dan menggauli istrinya selagi ia tidak tidur maupun melaksanakan shalat Isya. Apabila melaksanakan salah satunya, baik itu tidur ataupun shalat Isya, maka tidak diperkenankan untuk melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa hingga malam berikutnya.
Baca Juga
Hikmah Puasa Menurut Kiai Ali Maksum
Hingga kemudian Umar bin Khattab menggauli istrinya setelah shalat Isya. Umar menyesali perbuatannya, setelah ia mandi, ia menangis dan mencela dirinya. Umar kemudian mendatangi Nabi Muhammad Saw dan menceritakan permasalahannya disusul oleh sahabat lainnya yang mengakui telah menggauli istrinya setelah shalat Isya.” (Marah Labid, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 1417 H], juz I, halaman 62).
Peristiwa tersebut menjadi sebab turun Surat Al-Baqarah ayat 187 yang menjelaskan perubahan waktu pelaksanaan puasa sebagai rukhsah atau keringanan yang diberikan oleh Allah kepada umat Islam hingga kini.
Allah berfirman:
اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ
Artinya, “Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu.
Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa.” (QS Al-Baqarah: 187).
Ayat merupakan jawaban sekaligus turun sebagai rukhsah bagi umat Islam dalam menjalankan ibadah puasa. Karena mulanya pelaksanaan puasa dimulai dari sehabis shalat Isya ataupun ketika seseorang bangun dari tidurnya meski belum berbuka puasa. Sehingga hal ini menjadi kepayahan yang luar biasa bagi umat Islam.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya terkait ayat tersebut menyebutkan sebagai berikut:
هَذِهِ رُخْصَةٌ مِّنَ ٱللَّهِ لِلْمُسْلِمِينَ وَرَفْعٌ لِمَا كَانَ عَلَيْهِ ٱلْأَمْرُ فِىٓ إِبْتِدَاءِ ٱلْإِسْلَامِ فَإِنَّهُۥ كَانَ إِذَآ أَفْطَرَ أَحَدُهُمْ إِنَّمَا يَحِلُّ لَهُۥٓ الْأَكْلُ وَالشُّرْبُ وَٱلْجِمَاعُ إِلَىٰ ٱلصَّلَاةِ أَوْ يَنَامُ قَبْلَ ذَٰلِكَ. فَمَتَىٰ نَامَ أَوْ صَلَّى ٱلْعِشَاءَ حَرُمَ عَلَيْهِ ٱلطَّعَامُ وَٱلشَّرَابُ وَٱلْجِمَاعُ إِلَىٰ ٱلَّيْلَةِ ٱلْقَابِلَةِ فَوَجَدُوا۟ مِنْ ذَٰلِكَ مَشَقَّةًۭ كَبِيرَةًۭ
Artinya, “Ayat ini merupakan kemurahan (rukhsah) yang diberikan oleh Allah untuk umat Islam dengan mengangkat hukum yang berlaku pada periode awal Islam. Dulu, ketika salah satu dari umat Islam berbuka puasa kebolehan makan, minum dan berhubungan suami-istri hanya diperbolehkan sampai pelaksanaan shalat Isya atau sebelum tidur.
Ketika seseorang tidur atau melaksanakan shalat Isya maka haram baginya makan, minum dan berhubungan suami-istri hingga malam setelahnya. Kemudian mereka merasakan rasa payah yang besar.” (Tafsir Al-Qur’anil 'Azhim, [Beirut, Darul Kutub Al-'Ilmiyah :1419 H], juz I, halaman 375).
Ada beberapa hikmah dan kesimpulan yang dapat diambil dari kisah tersebut, di antaranya:
- Perubahan waktu pelaksanaan puasa yang merupakan rukhsah dari Allah hendaknya disyukuri umat Islam sehingga umat Islam tidak mudah mengeluh dalam melaksanakan ibadah kepada Allah.
- Sahabat Nabi Muhammad Saw memiliki peranan penting dalam proses pembetukan syariat Islam hingga menjadi sebab diringankannya ibadah puasa.
Coba bayangkan jika waktu pelaksanaan puasa masih sama seperti periode pertama Islam, akan sepayah apa pelaksanaannya bagi umat Islam hingga kini. Maka sepatutnya bagi kita berterima kasih kepada mereka dengan bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah. Wallahu a’lam.
Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Khas Kempek dan Mahad Aly Jakarta
Komentar
Posting Komentar