Aisyah al-Marwaziyah, Wali Perempuan yang Dermawan - NU Online

 

Aisyah al-Marwaziyah, Wali Perempuan yang Dermawan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 20:30 WIB

Aisyah al-Marwaziyah, Wali Perempuan yang Dermawan

Ilustrasi wali. Sumber: Canva/NU Online

Muhammad Afiq Zahara

Download PDF

Nama lengkapnya ‘Aisyah binti Ahmad ath-Thawwil al-Marwaziyyah. Istri dari Abdul Wahid as-Sayyari (w. 375 H), seorang sufi dan muhaddits. Imam Abu Abdurrahman as-Sulami dalam Thabaqat ash-Shufiyyah (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998: 330) dan Imam Abu Na’im al-Asfahani dalam Hilyatul Auliya (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988: X/380) menyebut nama Abdul Wahid bin Ali as-Sayyari beberapa kali dalam mata rantai periwayatan hadits, khususnya pada bagian yang membahas tentang Abul Abbas al-Qasim as-Sayyari. 


Dalam catatan Abu Abdurrahman as-Sulami, ‘Aisyah merupakan perempuan yang memiliki keutamaan dan sangat rajin dalam beribadah. Ia memiliki kedudukan spiritual yang tinggi, bahkan sulit untuk dicari sosok yang sebanding dengannya. As-Sulami mengatakan:


لم يكن في وقتها أحسن حالا منها, ولا ألطف طريقة في التصوف

Baca Juga

Ini Tanda-tanda Waliyullah Menurut Ibnu Athaillah


Artinya, “Tidak ada di masanya orang yang memiliki keadaan spiritual lebih bagus darinya, dan tidak ada yang lebih lembut jalannya dalam tasawuf.” (hlm. 424).

‘Aisyah al-Marwaziyah sangat terkenal kedermawanannya. Ia senang menghabiskan beribu-ribu dirham untuk orang-orang yang membutuhkan, termasuk para sufi yang sedang melakukan perjalanan. Kedermawanannya ini tercatat dalam kitab Thabaqatush Shufiyyah karya Imam Abu Abdurrahman as-Sulami. 


أنفقت علي الفقراء أكثر من خمسة آلاف درهم


Artinya: “Aisyah al-Marwaziyah menafkahkan lebih dari lima ribu dirham untuk orang-orang yang membutuhkan.” (hlm. 424)


Kedermawanan ‘Aisyah al-Marwaziyah berbanding lurus dengan gaya hidupnya sehari-hari. Ia mengutamakan kesederhanaan dalam hal apapun. Memakai pakaian yang tidak berlebihan. Memakan makanan yang sama dengan orang miskin, bahkan ia merasakan kemiskinan secara hakiki. Dengan merasakannya, empati, kedermawanan dan kasih sayang tumbuh. Ia mengatakan:

Baca Juga

Karomah Para Wali, dari Mbah Hamid hingga Kiai Dimyati


مَنْ لَمْ يَسْتَلِذّ طَعَمَ الْفَقْرِ لَا يُكْشَفُ لَهُ عَنْ فَضَائِلِ الْفَقْرِ


Artinya: “Siapa pun yang tidak merasakan nikmatnya kefakiran, maka keutamaan-keutamaan kefakiran tidak akan terungkap baginya.” (hlm. 424)

Dalam Islam, setiap hal memiliki keutamaannya masing-masing, dan setiap keadaan menuntut respons yang sesuai. Kemiskinan membuka peluang bagi seseorang untuk melatih kesabaran, sementara kekayaan mendorong rasa syukur. Terlebih jika yang membahas tentang al-faqru (kemiskinan) adalah seorang sufi, maka istilah tersebut harus dipahami dari perspektif tasawuf, yang menekankan aspek spiritual dan makna mendalam di balik keadaan tersebut.

Selain itu, dalam tasawuf, konsep faqir merujuk pada kondisi spiritual, bukan sekadar kemiskinan materi. Pemahaman ini bersifat khusus dalam konteks tasawuf, di mana faqir dipandang sebagai cara mendekatkan diri kepada Allah melalui penyangkalan ego dan duniawi.

Baca Juga

Wali Jadzab dan Ciri-cirinya

Namun, tidak semua Muslim diwajibkan untuk menjalani kondisi tersebut. Di masa kini, praktik tasawuf tidak harus diidentikkan dengan kemiskinan. Seorang Muslim yang kaya tetapi hidup dengan kezuhudan (sikap tidak terikat pada harta) juga sangat utama dalam Islam, karena yang ditekankan adalah kedekatan hati kepada Allah, bukan kondisi materi.


Dalam Fathul Bari, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani Jilid XI (hlm. 278)mengutip perkataan Abu Isma’il al-Anshari tentang makna al-faqru dalam tradisi sufi. Katanya:


نفض اليد من الدنيا ضبطا وطلبا مدحا وذما. وقالوا إن المراد بذلك أن لا يكون ذلك في قلبه سواء حصل في يده أم لا

Artinya: “Melepaskan tangan dari dunia dalam hal menahannnya, mencarinya, memujinya dan mencelanya.” Para sufi berkata: “Sesungguhnya maksud dari perkataan itu adalah, tidak menempatkan dunia di dalam hati, baik dunia itu di tangan ataupun tidak.”


Dengan kata lain, kekayaan dan kemiskinan itu sama, yang membedakan adalah keadaan hati. Hati yang tidak terikat kepada dunia, baik dunia itu di tangan (kaya), ataupun tidak (miskin).

Karena itu, ‘Aisyah al-Marwaziyah tidak merasa berat sedikit pun menghabiskan hartanya untuk orang-orang yang membutuhkan. Jika pun semua hartanya habis, hatinya tidak merasa susah. Jika pun hartanya melimpah, hatinya tidak merasa diperbudak. Itulah yang dimaksud dengan al-faqru dalam tradisi sufi.


Namun demikian, di waktu-waktu tertentu ia menemukan penolakan yang kasar. Niat baiknya dalam berbagi ditolak dengan bahasa yang tidak pantas, hanya karena ia seorang wanita. Imam Abu Abdurrahman as-Sulami mencatat peristiwa ini dalam Thabaqat ash-Shufiyyah.


وقيل لها إن فلانا لم يقبل رفقك وقال في قبول أرفاق النسوان مذلة. فقالت إذا طلب العبد التعزز في عبوديته فقد أظهر رعونته.


Artinya: “Dikatakan padanya bahwa fulan tidak mau menerima bantuanmu dan berkata bahwa menerima bantuan dari wanita adalah kehinaan. Kemudian ‘Aisyah al-Marwaziyah berkata: “Jika seorang hamba mencari kehormatan dalam ibadahnya, maka sungguh ia telah menampakkan kebodohannya.” (1998: 425)

Menurut pandangan 'Aisyah al-Marwaziyah, setiap orang memiliki hak yang sama dalam beramal, tanpa memandang gender. Ia membantu orang lain bukan demi pujian, melainkan semata-mata untuk menggapai ridha Allah SWT. Ketika dihadapkan pada penolakan yang mendiskreditkan perempuan, ia merespons dengan tegas, menunjukkan bahwa kehormatan seseorang tidak ditentukan oleh gender, tetapi oleh niat dan amal perbuatannya.

Baginya, orang yang masih menilai keburukan dan kehinaan dari sebuah gender, baik laki-laki atau perempuan, ia adalah orang yang mencari kehormatan dalam ibadahnya, bukan tulus murni mengabdi. Karena ia belum memahami bahwa esensi dari pengabdian adalah kasih sayang, bukan memandang rendah terhadap sesuatu yang bersifat kodrati. Maka dari itu, ‘Aisyah al-Marwaziyah tanpa basa-basi menganggap orang tersebut sedang menampakkan kebodohannya.

Perempuan mulia ini meninggalkan warisan spiritual yang dalam. Namanya tercatat dalam ensiklopedi biografi wali-wali besar. Sayangnya, hari kewafatannya tidak diketahui pasti. Yang jelas ‘Aisyah al-Marwaziyah hidup di abad ke-4 Hijriyah, sama seperti suaminya Abdul Wahid bin Ali as-Sayyari yang wafat pada tahun 375 H. Wallahu a'lam

Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanhan, Kebumen.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga