Syekh Mutawalli Sya’rawi jelaskan hukum perempuan berkarir menurut Islam - Sanadmedia

 

Syekh Mutawalli Sya’rawi jelaskan hukum perempuan berkarir menurut Islam

.

Tantangan era globalisasi menuntut perubahan dalam sistem kehidupan bersosial dan bermasyarakat. Perubahan dalam bersikap termasuk bentuk dari pengaruh modernisasi itu sendiri. Mungkin dahulu tak akan pernah terpintas dalam pikiran wanita kalau dia akan keluar rumah untuk berkarir atau berbisnis. Perguliran zaman pun mengubah mindset kebanyakan wanita hingga mereka pun mendeklarasikan untuk menjadi: Wanita yang berdiri di atas dua kakinya sendiri tanpa ketergantungan kepada laki-laki.

Perbedaan pendapat pun muncul dalam menyikapi polemik tersebut. Sebagian orang menentang hal tersebut seraya menyatakan dengan suara lantang, "Suami yang membiarkan istrinya keluar untuk bekerja adalah suami yang sama sekali tidak memiliki kepedulian dalam urusan agama."

Kelompok lain memperbolehkan hal tersebut secara mutlak dan berpandangan, "Memang seharusnya seorang wanita harus membantu suaminya dalam segala urusan, termasuk ihwal mencari nafkah. Karena sejatinya istri di hadapan suami laksana budak di hadapan tuannya." Lantas bagaimanakah hukum sebenarnya terkait polemik tersebut?

Syekh Mutawalli Sya’rawi, seorang pakar ilmu tafsir dari negeri kinanah Mesir memberikan jalan tengah dalam menjawab polemik tersebut. Dalam kitabnya ‘An-Nashaih adz-Dzahabiyyah li al-Maret’ah al-‘Aashriyyah (Permata Nasihat Untuk Wanita Kekinian) Syekh Mutawalli Sya’rawi menyatakan,

"Sesungguhnya al-Quran telah memberikan batasan serta ketentuan terkait hukum bekerja bagi wanita. Sebagaimana termaktub dalam kisah 2 putri dari Syu’aib yang bekerja menggembalakan dan memberikan air pada hewan ternaknya. Desakan ekonomi dan tidak adanya pemberi nafkah -karena ayah mereka berdua; Syu’aib sakit -menuntut keduanya untuk bekerja. Hingga berujung pertemuan keduanya dengan nabi Musa as."

Dari kisah ini kita dapat memetik pelajaran bahwa: Bekerja dan berkarir bagi wanita dihukumi boleh dalam pandangan syariat dengan ketentuan berikut:

1- Adanya kebutuhan mendesak yang menuntut wanita untuk bekerja. Semisal: Tidak adanya orang yang menanggung biaya hidupnya, baik; Orang tua, suami, atau kerabatnya yang lain.

Namun jika seorang wanita dikaruniai Allah ta’ala seorang suami atau lelaki yang amanah dan rela menjamin biaya hidupnya, maka tidak diperkenan baginya berkarir tanpa seizin dari suami atau walinya. Karena sejatinya lelaki adalah penanggung bagi wanita. Allah ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ

"Kaum laki-laki adalah penanggung bagi kaum wanita, sebab Allah telah memberi beberapa kelebihan pada mereka (laki-laki) atas wanita." {QS. an Nisa: 34}.

2- Pekerjaan wanita tersebut tidak mengharuskannya berkhalwat (berduaan) dengan lelaki yang bukan mahramnya.

Yaitu pekerjaan yang dilakukan secara tim di keramaian atau dalam ruang lingkup umum, semisal: Perusahaan, sekolah, pasar, dan lain sebagainya. Namun jika pekerjaan tadi mendesak wanita untuk berduaan dengan lelaki yang bukan mahram, tidak dalam keramaian, dan dilakukan di ruangan khusus, maka hukumnya haram. Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi menegaskan,

وعمل المرأة مع أجنبي عنها إذا كان لا يمكن تجنب الخلوة بينهما هو عمل حرام دون أي اعتبار لعمل أو لغيره

"Suatu pekerjaan yang mendesak seorang wanita harus berduaan dengan lelaki yang bukan mahram di ruangan khusus adalah pekerjaan haram secara mutlak. Tak peduli pekerjaan apa pun itu."

3- Pekerjaan yang terhormat bagi wanita dan dia mampu menjaga kehormatannya saat bekerja.

Artinya pekerjaan tadi tidak sampai merenggut kehormatan dari seorang wanita. Semisal pekerjaan yang memaksa wanita untuk membuka auratnya, atau pekerjaan yang mengharuskan wanita untuk melakukan hal yang tidak sesuai dengan tabiat kewanitaannya. Contoh: Mengangkat beban yang sangat berat, dan semisalnya.

Juga diharuskan bagi setiap wanita karir untuk menjaga kehormatannya sendiri dengan cara: Menghindari tempat sepi dan minim penerangan, menolak ajakan berduaan dari lawan jenis yang bukan mahram, serta mengusahakan untuk bekerja dekat dengan rekan kerja wanita lain yang akan menemani dan membersamainya.

Kemudian Syekh Mutawalli Sya’rawi menyebutkan beberapa riwayat hadits terkait keberadaan (eksistensi) wanita pekerja di masa Nabi Muhammad sallahu alaihi wa sallam:

-Perempuan sebagai tukang kebun.

Dari sy. Jabir bin Abdillah, dia berkata: Bibiku telah diceraikan oleh suaminya. Lalu dia ingin merawat kebun kurma miliknya di dalam masa idahnya. Akan tetapi seseorang melarangnya keluar untuk bekerja. Akhirnya ia pun bertanya kepada Rasulullah terkait masalah ini. Hingga Rasulullah sallahu alaihi wa sallam bersabda,

بل فجدِّي نخلكِ فعسى أن تصدَّقي أو تفعلي معروفاً

"Justru rawatlah baik-baik kebun kurmamu! Agar hasilnya bisa kau sedekahkan atau kau bisa pergunakan dengan baik." {HR. Muslim}.

-Perempuan sebagai perawat.

Dari syh. Aisyah dia berkata: "Sungguh Saad mengalami luka berat pasca peperangan Khandaq. Rasulullah pun mendirikan posko kesehatan di dekat masjid Nabawi, dengan tujuan kerabat dan famili korban lebih mudah menjenguk dan menengoknya." {HR. Bukhari dan Muslim}.

Kemudian Imam Ibnu Hajar al-Asqalani mengomentari hadits tersebut,

وأنّ رسول الله جعل سعداً في خيمة رفيدة وكانت امرأة تداوي الجرحى

"Sungguh Rasulullah memerintahkan agar Saad mendapat perawatan di posko. Dan yang menjadi perawat para korban kala itu perempuan." {lihat: Fath al-Bari, (7/412)}

-Perempuan sebagai pekerja terampil.

Dari syh. Aisyah dia berkata: "Sungguh wanita yang kami akui kedermawanan dan ketangguhannya adalah: Zainab binti Jahsy. Sebab dia suka bersedekah dan mendapat uang dari jerih payahnya sendiri." {HR. Muslim}. Hadits ini juga diriwayatkan oleh imam Hakim dalam kitab `Mustadrak´ yang juga dimuat oleh Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bari. Ibnu Hajar juga mengomentari hadits tersebut dengan ucapannya,

إنّ زينب بنت جحش كانت امرأة صانعة باليد كانت تدبغ وتخرز

"Sungguh Zainab bint Jahsy adalah sosok wanita yang terampil. Dia mampu membuat kerajinan dari kulit serta anyamannya." { Fath al-Bari, (3/287)}.

Inilah penjelasan dari Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi terkait hukum wanita karir dalam syariat Islam. Penjelasan yang menunjukkan sikap keluwesan dan sikap moderat dalam pengimplementasian hukum syariat yang relevan dengan era globalisasi masa kini. Wallahu a’lam bis shawab.

Baca Juga

Komentar

Baca Juga