Tak Paham Bahasa Arab Tapi Ngajar Tafsir dan Hadits, Bolehkah? - NU Online

 

Tak Paham Bahasa Arab Tapi Ngajar Tafsir dan Hadits, Bolehkah?

Di sebuah sekolah dasar di pinggiran kota, Ibu Sari dikenal sebagai guru bahasa Indonesia yang ramah dan penuh semangat. Suatu hari, kepala sekolah, Pak Budi, memintanya menggantikan guru matematika yang mendadak sakit. Meskipun awalnya ragu karena tidak menguasai matematika, Ibu Sari akhirnya menerima tugas tersebut demi membantu sekolah.


Keesokan harinya, Ibu Sari berdiri di depan kelas dengan perasaan gugup. Ia berusaha menjelaskan materi penjumlahan dan pengurangan, tetapi penjelasannya kurang jelas dan semakin kabur. Anak-anak mulai bingung dan banyak yang bertanya. Hal ini membuat Ibu Sari semakin cemas. Meskipun demikian, ia terus berusaha dengan penuh semangat memahamkan anak-anak di kelas.


Contoh di atas menunjukkan bagaimana mengajar pelajaran yang tidak dikuasai dapat memengaruhi efektivitas pembelajaran dan membuat guru merasa kurang percaya diri. Situasi serupa juga sering terjadi di berbagai bidang, termasuk dalam birokrasi pemerintahan, di mana posisi-posisi penting kadang diisi oleh individu yang tidak memiliki keahlian yang sesuai.


Dalam konteks agama, sering kali muncul pertanyaan mengenai kelayakan seseorang untuk mengajar tafsir Al-Qur'an dan hadits di tengah masyarakat, terutama jika orang tersebut tidak memiliki pemahaman yang mendalam tentang bahasa Arab. Pertanyaan ini sangat penting, mengingat bahasa Arab adalah bahasa asli Al-Qur'an dan hadits.


وسئل نفعنا الله به : عن شخص يعظ المسلمين بتفسير القرآن والحديث وهو لا يعرف علم الصرف ووجه الإعراب من علم النحو ولا وجه اللغة ولا علم المعاني والبيان ، هل يجوز له الوعظ بهما أو لا؟ فأجاب رضي الله عنه بقوله : بأنه إن كان وعظه بآيات الترهيب والترغيب ونحوهما وبالأحاديث المتعلقة بذلك وفسر ذلك بما قاله الأئمة جاز له ذلك وإن لم يعلم من علم النحو وغيره ؛ لأنه ناقل لكلام العلماء والناقل كلامهم إلى الناس لا يشترط فيه إلا العدالة وألا يتصرف فيه بشيء من رأيه وفهمه ، وأما إذا كان يتصرف فيه أو فهمه ولا أهلية فيه لذلك بأن لم يتقن العلوم المتعلقة بذلك فإنه يجب على أئمة المسلمين وولاتهم وكل من له قدرة منعه من ذلك وزجره عن الخوض


Artinya: "Ibn Hajar al-Haitami (semoga Allah memberi manfaat kepada kita dengan beliau) ditanya tentang seseorang yang mengajar (memberi mauidlah) kaum muslimin dengan tafsir al-Qur'an dan Hadits, sedangkan ia tidak mengetahui ilmu nahwu, bahasa Arab, ilmu ma'ani dan bayan, apakah ia boleh memberi mauizhah dengan tafsir al-Qur'an dan hadits? ... Maka Ibn Hajar Ra. menjawab: 'Jika mauizhahnya itu menggunakan ayat-ayat targhib (dorongan beribadah) dan ayat-ayat tarhib (peringatan menghindari maksiat) dan semisalnya, dan dengan hadits-hadits terkait tema tersebut, dan menafsirkan (menjelaskan) sesuai dengan pendapat para ulama, maka hal itu diperbolehkan, meskipun ia tidak menguasai ilmu nahwu dan lainnya. Sebab ia adalah pengutip pendapat ulama. Sementara pengutip pendapat ulama itu hanya disyaratkan bersifat 'adalah (bukan pelaku kefasikan) dan tidak mengembangkan pendapat mereka sama sekali dengan dasar pendapat dan pemahamannya sendiri." (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawal Haditsiyah, [Beirut, Darul Ma'rifah, t.t.], jilid I, hlm. 541).


Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami di atas juga dikutip dalam Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-7 di Bandung pada tanggal 13 Rabiuts Tsani 1351 H atau 9 Agustus 1932 M, tentang "Tidak Mengetahui Ilmu Musthalah Hadits mengajar Hadis" (Ahkamul Fuqaha, hlm. 121).


Penjelasan Ibnu Hajar ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, di mana setiap orang memiliki platform untuk menyampaikan pendapat, yang tidak jarang pendapatnya dilengkapi dengan kutipan Al-Qur'an maupun hadits, namun kapasitasnya dalam menguasai piranti-piranti keilmuan seperti bahasa Arab sebagai bahasa sumber belum memadai. Selain itu, pendapat ini perlu diperhatikan oleh para dai dan mubaligh, yang berperan sebagai penyampai pesan dan nilai-nilai Islam di masyarakat.


Dalam kesempatan lain, Ibnu Hajar al-Haitami juga pernah menjelaskan bahwa teks Al-Qur'an dan hadits memiliki penjelasan yang kompleks. "Sesungguhnya hadits itu seperti Al-Qur'an, karena bisa jadi lafaznya umum tetapi maknanya khusus, dan sebaliknya. Di dalamnya terdapat yang nasikh dan mansukh, serta yang tidak disertai dengan amal. Ada juga yang bermasalah yang tampaknya menunjukkan kesamaan, seperti hadits 'Tuhan kita turun,' dan makna ini hanya diketahui oleh para fuqaha, berbeda dengan mereka yang hanya mengetahui hadits secara tekstual.." (Al-Fatawal Haditsiyah, jilid I, hlm. 660).


Penjelasan ini mengafirmasi bahwa memahami teks-teks keagamaan tidak cukup hanya dengan membaca terjemahan atau memahami makna tekstual semata. Dibutuhkan pemahaman mendalam terhadap konteks, kaidah bahasa, dan metodologi para ulama dalam menafsirkan teks, agar tidak terjadi kesalahpahaman.


Walhasil, penguasaan bahasa Arab bagi siapa saja yang ingin menyampaikan tafsir maupun hadits sangat penting. Bagi yang tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskan ayat Al-Qur'an maupun hadits, hendaknya merujuk kepada penjelasan para ulama supaya tidak terjadi kekeliruan dalam penyampaian. Wallahu a'lam.


Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga