Pujian untuk Orang Indonesia di Masjid Punchbowl, Australia

Setelah sampai di Sydney, Australia untuk menjalani satu babak kehidupan baru, saya punya rencana untuk menulis catatan-catatan sederhana. Tema catatan ini adalah seputar kehidupan saya di sini sebagai seorang Muslim Indonesia, khususnya sebagai orang yang berharap dianggap atau diaku sebagai santri. Maklumlah, dulu saya pernah jadi santri tapi sebentar dan ‘mbeling’, maka masih merasa butuh mendapatkan validasi.
Tentang catatan-catatan ini, saya merasa perlu memulainya dengan tulisan tentang Masjid Punchbowl. Bagi saya, ada beberapa hal yang membuat masjid yang terletak di Matthew Street, Punchbowl ini perlu menjadi yang pertama. Soal nama, memang masjid ini bernama Masjid Punchbwol atau Punchbowl Mosque, diberi nama berdasarkan tempatnya.
Di sekian hal yang jadi alasan adalah karena masjid ini terletak sangat dekat dengan tempat saya tinggal saat ini, sekitar 75 meteran jika ditarik garis lurus. Tapi jarak dekat ini terhalang pagar, yaitu pagar belakang komplek rumah saya yang sekaligus pagar belakang masjid. Untuk mencapainya dari rumah, saya harus memutar sekitar 350 meter. Maka masjid ini adalah tempat saya mengikuti shalat jamaah pertama kali di Australia, di waktu maghrib pas hari kedatangan saya.
Masjid ini juga yang sejauh saya tahu, berarsitektur lain dari pada yang lain. Kalau diukur dengan keindahan arsitektur klasik, maka masjid ini masih kalah dengan beberapa masjid lain di Greater Sydney. Tapi masjid ini justru paling menarik karena desainnya paling kontemporer di antara yang lain.
Tidak sengaja pula, gambar interior masjid ini ada di sampul buku yang ditulis oleh supervisor saya, Dr. Jan A. Ali, dalam menempuh studi saat ini. Buku ini terbitan tahun 2020, judulnya Islam and Muslims in Australia: Settlement, Integration, Shariah, Education and Terrorism.
Lebih jauh bagi saya pribadi, masjid ini tidak hanya bikin nyaman karena dekatnya, tapi karena bikin serasa di kampung kelahiran sendiri, Berjan, Purworejo. Di Masjid Punchbowl saya bisa mendengarkan pengajian fiqih Syafi’i setelah maghrib hari Senin, juga berjamaah shalat subuh yang di dalamnya ada doa qunut.
Masjid ini didominasi Muslim Lebanon, yang memang banyak di antaranya mengikuti Mazhab Syafi’i. Sebagaimana saya dengar langsung dari seorang bapak jamaah masjid, yang saya lupa namanya, mazhab ini diikuti banyak Muslim di wilayah Syam atau Levant. Wilayah ini di dalamnya kini terdapat negara Suriah, Lebanon, Yordania dan Palestina. Sebagian Iraq juga masuk ke wilayah Syam, kata si bapak itu.
Tentu saja semua ini bukan bentuk fanatisme pribadi sebagai penganut Mazhab Syafi’i, semata-mata satu kenikmatan beribadah dalam balutan kerinduan kampung kelahiran. Alhamdulillah, saya pernah mencicipi pelajaran tentang konsep perbedaan mazhab dalam fiqih. Sehingga misalnya, ketika saya yang terbiasa di kampung kelahiran berjamaah shalat subuh dengan doa qunut, lalu saat berjamaah shalat shubuh di Masjidil Haram di Makkah atau Masjid Nabawi di Madinah bersama imam yang tidak membaca doa qunut, maka saya merasa tidak ada masalah.
Begitu pun sebaliknya. Jika ada seorang Muslim yang tidak membaca doa qunut di shalat subuhnya, dan dia paham akan konsep perbedaan mazhab, maka di akan fine-fine saja ketika misalnya berjamaah shubuh di Masjid Al Aqsa Palestina, misalnya, lalu imamnya membaca doa qunut.
Anyway, hal ini bukanlah bagian inti dari catatan, maka baiklah kita kembali ke jalur semula.
***
Punchbowl adalah sebuah suburban, yang merupakan bagian dari wilayah administratif Bankstown-Canterbury, Greater Sydney, New South Wales, Australia. Ini adalah daerah pinggiran, kalau dari pusat kota Sydney arahnya ke Barat Daya. Dengan transportasi kereta, stasiun terdekat dengan Sydney Opera House adalah stasiun ke-16 dari Stasiun Punchbowl. Cuma sayangnya, jalur kereta tersebut saat ini sedang berhenti beroperasi, karena dalam proses upgrade dari skema train menjadi metro. Sungguh saya menantikan momen naik kereta metro dari Stasiun Punchbowl, yang jarak jalan kaki dari rumah sekitar 200an meter itu.
Mengapa saya tinggal di pinggiran kota begini? Jawabnya karena adalah saya ikut di rumah teman sesama Indonesia yang terlebih dulu berada di sini. Kebetulan juga, sebagai mahasiswa Western Sydney University yang mana di antara sekian banyak gedung kampusnya, saya tercatat memiliki home base di cabang Bankstown. Tempat ini hanya berjarak dari satu stasiun dari Punchbowl, berlawanan arah dengan jalur kereta ke pusat kota Sydney.
Awalnya saya merasa biasa saja dengan Punchbowl dan tempat tinggal saya ini. Tetapi saya bersyukur saat sadar betapa dekat tempat tinggal ini dengan halte bus dan stasiun kereta. Lalu ketika sadar betapa dekat rumah saya dengan masjid, betapa banyak toko bahan dan produk makanan halal, dan tahu bahwa di tempat lain tidak bisa semudah ini, maka makin bersyukurlah saya. Bahkan mau bershalat Jumat yang lebih dekat dari masjid pun bisa, di community center yang disewa tiap Jumat, oleh komunitas Muslim Lebanon juga, cuma sekitar 100an meter dari rumah.
Dalam buku yang judulnya saya sampaikan tadi, ada satu sensus masyarakat Muslim Australia yang dilakukan di tahun 2016. Sensus ini memberikan jumlah Muslim terbanyak di Australia diukur dari masing-masing Local Government Areas (LGA). Hasilnya menunjukkan bahwa jumlah Muslim terbanyak se-Australia ada di LGA Bankstown-Canterbury. LGA ini memiliki seat atau ibu kota pemerintahan di Bankstown, membawahi banyak suburban, salah satunya adalah suburban Punchbowl.
Data sensus 2021 sendiri bisa diakses di situs milik Australian Bureau of Statistics. Menurut data tersebut, di LGA Canterbury-Bankstown, Islam menduduki prosentase religious affiliation tertinggi di angka 23,6 %, sementara Lebanese menjadi menduduki prosentase ancestry tertinggi di angka 14,1 %. Sementara secara spesifik di suburban Punchbowl, terdapat kecenderungan sama, Islam tertinggi di angka 38,4 % sementara Lebanese tertinggi di angka 26,9 %.
LGA Bankstown-Canterbury adalah hasil penggabungan antara Bankstown dan Canterbury di tahun 2016. Di sini memang komunitas Muslim Lebanon baik kelahiran negara asal maupun kelahiran Australia cukup mendominasi. Maka tidak heran council atau pemerintah daerah LGA ini sekarang dipimpin seorang mayor dari komunitas ini. Ia bernama Bilal El-Hayek, seorang Muslim yang lahir di Lebanon, menjabat mulai tahun 2023 dan terpilih lagi di 2024 setelah sebelumnya pernah jadi deputy mayor dua kali di LGA ini.
Selain Muslim Arab khususnya Lebanon, mayarakat Muslim berlatar belakang Asia Selatan seperti India, Pakistan maupun Bangladesh juga menjadi warna tersendiri di sini. Di Lakemba, jarak dua stasiun dari Punchbowl ke arah pusat kota Sydney, kini grocery maupun warung makan halal didominasi oleh nuansa Asia Selatan. Terdapat juga masyarakat Muslim berlatar belakang Indonesia di sini, namun tidak sebanyak mereka yang berada dari Timur Tengah maupun Asia Selatan. Sementara itu, komunitas Arab di daerah sini pun tidak semuanya Muslim, namun juga terdapat yang berlatar belakang Kristen.
***
Masjid Punchbowl dikelola oleh salah satu lembaga bernama Australian Islamic Mission (AIM) yang sudah dirintis sejak tahun 1973. Selain masjid, di Punchbowl lembaga ini juga punya gedung yang kalau di peta tertulis sebagai Punchbowl Musalla dan The Dawn Quranic Institute. Letak gedung ini di Arthur Street, tepat di seberang tempat tinggal saya, langsung kelihatan persis di depan jendela kamar. Di gedung ini terdapat kegiatan pendidikan Al Quran, tapi sifatnya informal, nampak ramai di akhir pekan.
Pada tahun 1994, AIM menyewa satu tempat untuk kegiatan keagamaan Punchbowl, yang lokasinya kini menjadi tempat masjid itu. Lama kelamaan AIM mampu membeli tanah di area tersebut, meliputi Matthew Street nomor 25, 27, 29 dan 33. Pada akhirnya setelah hampir 20 tahun, setelah melalui penolakan pihak tertentu, Council memberi izin pembangunan masjid. Tahun 2014 merupakan saat bangunan lama di Lokasi dirobohkan, sementara peletakan batu pertama di tahun berikutnya. Saat masa Pembangunan ini kegiatan ibadah pindah ke gedung yang ada si Arthur Street,
Menariknya, tim arsitek pembangunan masjid ini adalah Candalepas Associate, yang dikomandani oleh Angelo Candalepas, arsitek Australia penganut Kristen Otodoks Yunani. Ia sendiri pada awalnya memiliki keraguan menerima proyek ini. Bahkan keraguannya waktu itu adalah karena di saat yang sama ada juga tawaran proyek gereja Kristen dan sinagog Yahudi. Pada akhirnya setelah berpikir dan berdoa selama beberapa waktu, Candalepas akhirnya menerima proyek masjid ini.
Masjid diarsiteki oleh seorang non-Muslim memang unik, tapi sebenarnya bukan hal yang baru. Ya, seperti Masjid Muhammad Ali Pasha di Kairo dan Pascal Coste atau Masjid Istiqlal di Jakarta dan Frederich Silaban.
Awalnya Masjid Punchbowl mau dibangun bersama dengan sekolah dasar Islam. Namun pembangunan area parkir bawah tanah menyita dana besar yang membuat rencana pembangunan sekolah ditunda. Council meminta parkiran yang muat untuk satu ukuran mobil per dua orang jamaah, maka kalau jamaah jumlahnya 300, walhasil harus muat 150 mobil.
Candalepas sendiri menganggap permintaan council untuk 150 slot terlalu berat, karena masjid berbasis umat Islam sekitar Mereka datang lima kali sehari, banyak di antaranya berjalan kaki, berbeda dengan orang yang ke gereja seminggu sekali dengan mobil. Maka council menyetujui parkiran dengan kapasitas untuk 109 mobil, dua lantai ke bawah. Kebetulan juga di bawah tanah terdapat muka air tanah yang mengakibatkan tindakan dengan penyesuaian biaya. Fase Pembangunan pertama adalah untuk bagian bawah tanah, memakan waktu sampai tahun 2018, dilanjutkan fase pembangunan bagian atas.
Arsitektur masjid ini tidak sebagaimana umumnya masjid bergaya tradisional namun lebih membawa semangat zaman. Kalau kita mencari menara atau kubah besar melengkung, di sini tidak ada. Ada satu bagian yang cukup tinggi di depan, tapi itu adalah tempat jamaah perempuan di bagian atas. Kubah pun sebenarnya bisa dikatakan ada, tapi didominasi oleh bentuk trapezoidal prism, dengan bentuk cenderung melengkung hanya di pucuknya. Salah satu yang digunakan adalah arsitektur brutalisme, berasal dari kata béton brut yang berarti beton mentah. Memang masjid ini nampak berwarna abu-abu mentah saja tanpa ditimpa dengan cat berwarna.
Satu hal yang menjadi ikon dan berakar pada seni arsitektur Islam klasik di sini adalah penggunaan muqarnas. Istilah ini merujuk kepada pola semacam sarang lebah atau stalaktit gua yang berada pada bagian dalam lengkungan atau kubah. Dalam beberapa peninggalan arsitektur Islam, muqarnas nampak sangat indah dan elegan. Karena keindahannya, salah satu jurnal terkenal di bidang arsitektur Islam diberi nama jurnal Muqarnas.
Tapi muqarnas di Masjid Punchbowl berbeda dari yang lain, karena ukurannya yang jauh lebih besar dari biasanya. Umumnya ceruk-ceruk Muqarnas setahu saya berukuran sentimeter, tapi ini sampai ukuran meter. Jadi di langit-langit masjid ini, menurut hitungan ada sejumlah 102 ceruk. Yang 99 di antaranya ditulisi dengan satu per satu Asmaul Husna dengan font jenis Suluṡ berwarna emas. Saya cari di mana 3 ceruk yang lain, ternyata ada ceruk yang berukuran separuh, jumlahnya ada 6, jadi totalnya 3.
Khattat atau kaligrafer penulis nama-nama Allah ini didatangkan dari Turki, negeri yang memang terkenal dengan seni khat atau kaligrafi huruf Arab. Seharusnya tim kaligrafer datang lebih awal dalam proses pembangunan masjid. Namun satu kaligrafer tertunda visanya, dan gurunya yang juga mau ikut malah tertolak visanya. Pada akhirnya kaligrafer baru yang merupakan penggantilah yang berhasil lolos pengajuan visanya.
Selain tulisan Asmaul Husna, terdapat dua potongan ayat yang juga terpasang di dinding, sama-sama menggunakan font jenis Suluṡ. Dua-duanya mengandung kata-kata kebaikan, satunya aḥsin (Al-Qaṣaṣ 77) yang kedua aḥsanu (Fuṣṣilat 33).
Pada masa pembangunan di tahun 2018, desain Masjid Punchbowl meraih dua penghargaan nasional Australia di bidang arsitektur. Yang pertama ialah Sir John Sulman Medal dan yang kedua yaitu Sir Zelman Cowen Award. Di tahun 2019, Gubernur New South Wales, Margaret Beazley sempat mengunjungi lokasi pembangunan masjid ini.
Setelah proses pembangunan yang lama serta masa pandemi, maka tercatat di bulan April 2021, dilaksanakan shalat Jumat pertama secara resmi serta dilanjutkan Shalat Tarawih yang pertama kali juga di bulan yang sama. Namun di satu bagian dinding terdapat juga semacam prasasti yang menunjukkan bahwa pendanaan pembangunan masjid ini didukung oleh Kuwait Awqaf Public Foundation. Di prasasti ini tertulis ‘Officially Opened for the Community on Friday 5th Rajab 1444 Hijri, 27th January 2023’.
***
Meski erat dengan komunitas Lebanon, tapi Masjid Punchbowl juga diramaikan dengan kaum Muslim dari berbagai wilayah asal. Beberapa tetangga juga nampak rajin berangkat ka masjid, di antaranya yang saya tahu berasal dari Mesir dan Bangladesh. Di antara beberapa imam di masjid ini, yang saya hafal adalah Syekh Mutasim Jarrah yang asalnya dari Yordania. Dia yang paling banyak nampak dalam shalat jamaah dan dia juga yang memberi pengajian fiqih Syafi’i. Dia dapat dikatakan masih muda, satu-satunya imam di masjid ini yang sempat saya temui dan ajak berkenalan.
Suatu ketika ada keluarga satu jamaah yang meninggal, maka shalat maghrib di suatu Ahad petang dilanjut dengan pembacaan Surah Yasin, Surah Al-Ikhlas, Al Falaq, An-Naas, Al-Fatihah, Shalawat Ibrahimiyah dan kalimah tahlil. Syekh Mutasim kemudian melanjutkannya dengan ceramah dan doa. Dalam ceramah ini, maupun dalam pengajian fiqih, juga tafsir, bahasa digunakan adalah Bahasa Arab sepenuhnya. Khutbah Jumat yang pernah saya ikuti di sini pun menggunakan Bahasa Arab.
Penggunaan Bahasa Arab seperti ini pada akhirnya membuat banyak jamaah yang non Arab untuk tidak tertarik mengikuti ceramah atau pengajiannya. Saya pribadi senang saja karena bisa jadi momen untuk mengasah maharah istima’ atau keterampilan mendengarkan Bahasa Arab. Cuma sayang saja, mungkin ada banyak orang yang sebenarnya ingin mengambil faidah ilmu tetapi tidak jadi karena persoalan bahasa. Tapi ya begitulah, sudah menjadi kebijakan masjid.
Suatu ketika setelah pengajian, sembari menunggu waktu isya datang, saya menghampiri dua bapak-bapak Arab yang sedang duduk mengobrol. Saya menyapa memperkenalkan diri, menyampaikan maksud hendak bertanya-tanya tentang masjid ini. Yang satu namanya Azzam yang satu namanya Muhammad. Mereka berdua tinggal dia area Punchbowl, sudah ada di Australia sejak tahun 1980an.
Ternyata bapak yang bernama Azzam ini sering-bolak-balik ke Indonesia, urusan bisnis dan liburan. Yogyakarta di tahu, ke Jepara pun pernah untuk urusan jual-beli mebel. Bulan Mei depan pun katanya mau ke Indonesia lagi untuk liburan. Dia lebih suka Lombok dibanding Bali, katanya. Maka obrolan tidak hanya seputar sejarah berdirinya masjid, tapi juga tentang Indonesia. Di antara sekian hal, yang paling mengesankan saat dia bilang kalau orang Indonesia itu santun dan kalem. Kalau kumpul-kumpul suaranya anteng, katanya.
Saya pun menimpali dengan satu cerita, ketika suatu saat di musim haji di kota Makkah, saya mengobrol dengan satu petugas hotel. Saya tanya pendapatnya tentang para jamaah haji Indonesia dibanding yang dari negara lain. Petugas hotel ini menjawab kalau jamaah Indonesia baik, dimaagh baarid, artinya otaknya dingin. Pak Azzam pun menambahkan, bahwa dia tidak pernah lihat orang Indonesia bertengkar di jalan, tambahnya. Saya membatin, alhamdulillah bapak ini ketemu yang baik-baik saja, semoga tidak ketemu dengan jelek-jeleknya Indonesia.
Muhyidin Basroni, Dosen Fakultas Dirasah Islamiyah, UNU Yogyakarta. Pernah menjadi mahasiswa Universitas Al Azhar Kairo dan aktif di PCINU Mesir. Saat ini menempuh studi di Western Sydney University, Australia sambil belajar di Pengajian Kaifa NU New South Wales.
Komentar
Posting Komentar