Hukum Mendengar Khutbah Jumat Melalui Speaker - NU Online

 

Hukum Mendengar Khutbah Jumat Melalui Speaker

Assalamu'alaikum wr wb. Ketika khutbah Jumat, 40 orang mukim hanya mendengar khutbah Jumat lewat speaker atau pengeras suara, apakah demikan itu sah? Mohon penjelasan berikut 
dalil dan keterangannya. Terima kasih.
 

Jawaban

Wa'alaikum salam wr wb. Saudara penanya yang berbahagia dan segenap pembaca yang semoga selalu dalam lindungan Allah ta'ala.
 

Shalat Jumat menurut pendapat terkuat dalam mazhab Syafi'i harus dilakukan dengan jamaah oleh minimal 40 orang.Semuanya harus memenuhi syarat muslim, laki-laki, berakal, baligh, dan penduduk yang bertempat tinggal di lokasi pelaksanaan shalat Jumat (mustauthin). 
 

Orang yang mukim atau berdomisili di suatu tempat dan memiliki keinginan untuk kembali ke tempat tinggal aslinya tetap berkewajiban shalat Jumat, namun tidak bisa mengabsahkannya. Sementara musafir yang keluar dari desanya sebelum waktu Subuh tidak wajib shalat Jumat.
 

Pelaksanaan shalat Jumat di pondok pesantren, perkantoran, hotel, sekolah, atau rest area tanpa melibatkan penduduk setempat (mustauthin) hukumnya tidak sah menurut pendapat yang kuat dalam empat mazhab. Begitu juga tidak sah bila penduduk setempat tersebut kurang dari 40 orang menurut pendapat kuat dalam mazhab Syafi'i.
 

Syarat-syarat di atas juga berlaku untuk khutbah. Secara lebih rinci, syarat khutbah Jumat adalah sebagai berikut:

  1. Khatib harus laki-laki.
  2. Suci dari hadats dan najis baik di pakaian, badan, atau lokasi khotbah 
  3. Menutup aurat.
  4. Berdiri bila mampu.
  5. Duduk di antara dua khutbah melebihi ukuran thuma'ninah shalat. Lebih baik kira-kira satu bacaan surat al Ikhlas.
  6. Berkesinambungan (muwalah) antara dua khutbah. Maksudnya duduk di antara dua khutbah tidak terlalu lama yang bisa digunakan melakukan shalat dua rakaat.
  7. Berkesinambungan antara khutbah kedua dan shalat Jumat.
  8. Khatib memperdengarkan rukun khutbah kepada orang yang mengesahkan shalat Jumat, yaitu minimal 40 orang yang memenuhi syarat di atas.
  9. Rukun khutbah didengar oleh 40 orang tersebut.
  10. Rukun khutbah harus berbahasa Arab.
  11. .Khutbah dilakukan pada waktu shalat Dhuhur.(Hasan bin Ahmad Al-Kaf, At-Taqriratus Sadidah, (Surabaya, Darul Ulum Al-Islamiyah: 2004, halaman 332-334)

Terkait ;syarat nomor sembilan, para ulama madzhab Syafi'i berbeda pendapat.
 

Menurut Imam An-Nawawi, Imam Ar-Rafi'i, dan Imam Ibnu Hajar, syarat tersebut harus terjadi secara nyata. Dalam hal ini, khatib harus mengeraskan bacaannya sehingga bisa didengar oleh minimal 40 orang.
 

Begitu juga 40 orang tersebut harus benar-benar mendengar khutbah. Andai ada suara gaduh atau ada yang mengobrol sendiri sehingga suara imam tidak terdengar, maka khutbahnya tidak sah. Begitu juga andai sebagian dari 40 orang tersebut tertidur, maka khutbah juga tidak sah.
 

Sedangkan menurut Imam Ar-Ramli, mendengar khutbah tidak harus benar-benar terjadi.Yang terpenting khatib mengeraskan suara sekira bisa didengar oleh empat puluh orang dalam kondisi sunyi dan 40 orang tersebut andaikan mau mendengarkan, maka bisa mendengarnya. Berikut pernyataan Imam Ar-Ramli:
 

فعلم أنه يشترط الإسماع والسماع بالقوة لا بالفعل، إذ لو كان سماعهم بالفعل واجبا لكان الإنصات متحتما
قوله: والسماع بالقوة) أي بحيث لو أصغى لسمع
 

Artinya, "Maka bisa diketahui, disyaratkan memperdengarkan khutbah dan mendengar secara potensi, bukan secara nyata. Maksudnya andaikan jamaah memperhatikan maka mereka bisa mendengarnya. Andaikan mendengarnya mereka harus secara nyata, mestinya diam mendengarkan khutbah itu wajib (padahal dalam mazhab Syafi'i hukumnya sunnah)." (Nihayatul Muhtaj dan Hasyiyah Syabramallisi, [Beirut, Darul Fikr: 1984], juz II, halaman 319).
 

Berdasarkan pendapat ini, adanya suara bising atau mengobrol sendiri tidak mempengaruhi keabsahan khutbah. Khutbah baru tidak sah bila sebagian dari 40 orang tersebut tuli sehingga bagaimanapun tidak bisa mendengar. Sementara bila ada yang tertidur, ada perbedaan pendapat.
 

Menurut Imam As-Syabramallisi mempengaruhi keabsahan khutbah, sebab sama dengan orang tuli. Sementara menurut Imam Al-Qalyubi tidak berpengaruh karena disamakan dengan ketika ada suara bising. Dari dua pendapat ini, yang lebih kuat adalah pendapat Imam As-Syabramallisi sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Al-Bajuri. (Hasyiyah Al-Bajuri, [Semarang, Toha Putra: tt], juz I, halaman 219).
 

40 orang yang menjadi dasar keabsahan khutbah tersebut tidak harus sudah berada di lokasi sholat Jumat. Meskipun orang tersebut di serambi, tempat parkir, tempat wudlu, warung atau rumah sekitar masjid, tetap dihitung asalkan ia penduduk setempat dan ikut melakukan shalat Jumat.
 

وسئل) - رضي الله عنه - عمن كان بالخلاء ونحوه وهو يسمع الخطيب خارجا عن المسجد هل يعد من الأربعين أم لا؟ (فأجاب) بأن الذي يصرح به كلامهم أن يعتد بسماع من بالخلاء ونحوه
 

Artinya, "Ibnu Hajar ditanya tentang seseorang yang berada di kamar kecil atau semisalnya, namun ia mendengar suara khatib, padahal berada di luar masjid. Apakah ia dihitung sebagian dari 40 orang atau tidak?
 

Beliau menjawab, apa yang ditegaskan oleh pernyataan Ashabus Syafi'i bahwa mendengarnya orang yang berada di kamar kecil dan semisalnya itu dianggap cukup." (Al-Fatawil Fiqhiyah Al-Kubra, [Beirut, Darul Fikr: tt.], juz I, halaman 234).
 

Kemudian bagaimana bila 40 orang tersebut hanya mendengar lewat speaker atau pengeras suara, tidak mendengar suara khatib secara langsung? Apakah sudah mencukupi?
 

Hukum penggunaan pengeras suara telah dibahas oleh Syekh Ismail Zein Al-Yamani dalam Risalah Taudlihil Maqshud fi Isti'mali Mukabbiris Shaut yang dinukil dan diringkas oleh KH Thaifur Ali Wafa:
 

استعمال مكبر الصوت فيما يطلب فيه الجهر من العبادات من الأمور المحمودة شرعا ، بل قد يكون واجبا وقد يكون مندوبا ، فحيث لم يتأت ما يجب فيه الجهر من العبادات إلا باستعماله يكون استعماله واجبا لأن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب وذلك كإسماع الخطيب أربعين من أهل الجمعة أركان الخطبتين . أما إذا تأتى بدون ذلك فاستعماله مندوب لمزيد الفائدة وتمام الغرض وكذلك يندب فيما يندب فيه الجهر كالأذان
 

Artinya, "Penggunaan pengeras suara dalam ibadah yang diperintahkan dengan suara keras adalah salah satu hal yang baik menurut syara', bahkan bisa saja wajib atau sunah. Perkara yang diwajibkan dengan mengeraskan suara namun tidak akan tercapai kecuali dengan menggunakannya, maka penggunaannya wajib. Karena kewajiban yang tak akan terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
 

Hal ini seperti khatib memperdengarkan rukun khutbah kepada 40 orang ahli Jumat. Sedangkan bila bisa terlaksana tanpa pengeras suara, maka menggunakannya sunah guna menambah faedah dan menyempurnakan tujuan. Begitu juga disunahkan untuk ibadah yang disunahkan mengeraskan suara seperti azan."  (Bulghatut Thullab, Sumenep, [Toko Kitab Assadad: tt.], halaman 126).
 

Keterangan di atas menunjukkan bahwa bila penggunaan pengeras suara itu diperlukan agar bisa didengar oleh 40 orang maka hukumnya wajib. Secara tidak langsung pernyataan ini menunjukkan bahwa mendengar rukun khutbah melalui pengeras suara itu sudah cukup dan dianggap sah dalam proses khutbah.
 

Demikian jawaban yang dapat kami berikan. Semoga bermanfaat. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar di PP Al Inayah, Wareng, Tempuran, Magelang.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga