Menjawab Pertanyaan Anak: Di Mana Allah Berada? - NU Online

 

Menjawab Pertanyaan Anak: Di Mana Allah Berada?

Anak: "Ayah, Allah itu ada di mana? Kalau manusia punya rumah, Allah juga punya tempat tinggal, kan?"

 

Ayah: "Nak, Allah itu tidak seperti manusia atau makhluk lainnya. Kalau manusia memang butuh tempat tinggal seperti rumah. Tapi Allah tidak butuh tempat, karena Allah berbeda dari semua yang kita tahu. Apa yang kita bayangkan tentang Allah, seperti duduk di singgasana, itu bukan Allah. Allah jauh lebih besar dan tidak bisa digambarkan seperti makhluk."

 

Anak: "Tapi, kalau begitu Allah tinggal di mana?"

 

Ayah: "Allah tidak butuh tempat, Nak. Allah ada di mana-mana tanpa harus terikat tempat. Sama seperti kamu yang butuh tanah untuk berdiri, kalau tidak ada tanah, kamu akan jatuh. Tapi Allah tidak butuh hal-hal seperti itu. Allah Maha Kuasa dan mengurus seluruh alam semesta tanpa bergantung pada apapun."


Masa kanak-kanak memang menjadi tahap di mana mereka punya keingintahuan yang besar. Tak ayal, jika mereka sering bertanya apa pun itu, mulai dari hal yang remeh, hingga yang berada di luar nalar pikiran banyak orang.


Para orang tua sudah pasti menjadi target sasaran pelampiasan apa saja yang terlintas di benak mereka. Pola kritis mereka ini perlu ditanggapi dengan cara yang bijak. Salah satunya seperti pertanyaan di atas. 


Ketika disodorkan dengan pertanyaan tersebut, sebagai orang tua harus mampu menghadirkan pemahaman yang mudah dicerna bagi anak. Karena di usia mereka, akal belum cukup memahami hal-hal yang sifatnya rumit. Perlu dialihbahasakan dan disederhanakan agar bisa cocok diterima oleh anak. Hal ini juga sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi:


حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُوْنَ أَتُحِبُّوْنَ أَنْ يُكَذِّبَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ


Artinya, “Bicaralah kepada manusia menurut apa yang mereka ketahui, apakah engkau senang berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari. No. 127)


Melalui hadits ini, kita dapat memahami bahwa kunci keberhasilan bukan hanya sebatas mentransmisikan sebuah pengetahuan semata, melainkan juga bagaimana lawan bicara bisa paham dengan pengetahuan tersebut.

 

Terkait pertanyaan seputar tentang Allah, kalangan Ahlussunnah meyakini bahwa tidaklah bertempat dan butuh waktu atau dikenal dengan istilah al-hulul. Allah tidak butuh kepada keduanya, tapi keduanya butuh kepada Allah.


Allah Dzat yang tak terikat dengan arah dan tempat. Sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baijuri dalam Tuhtatul Murid Syarh Jauharatut Tauhid (Kairo, Darus Salam, 2002: 163):


فَلَيْس لَهُ فَوْقَ العَرشِ وَلَا تَحْتَهُ، وَلَا عَنْ يَمِينِه وَلَا عَن شِمَاله وَنحْو ذَلك، أَوْ لَهُ جِهَةٌ فَلَيْسَ لَهُ فَوْق ولا تحْت، ولا يَمِينٌ ولا شِمَالٌ ونحو ذلك، أو يَحُلُّ فِي الْمَكَانِ


Artinya, "(Allah) tidak berada di atas Arsy, tidak di bawahnya, di kanan dan juga kirinya, dan semisal hal itu. Ataupun Allah itu punya arah, tidak di atas, di bawah, kanan, kiri dan semisalnya, ataupun menempati suatu tempat."


Ketika memaparkan jawaban seperti di atas, tidak menutup kemungkinan mereka akan sulit menalarnya. Karena selama ini, yang ada di mata kepala mereka adalah segala hal yang berkaitan dengan makhluk. Maka ketika disebutkan bahwa Allah tidak butuh tempat dan waktu, yang terbayang adalah sebuah kejanggalan dalam akal mereka.

 

Selama ini, yang diketahui jika ada suatu barang pasti dia menempati sesuatu. Ambil contoh, si A sekarang sedang berada di rumahnya, maka rumah itu adalah tempat baginya. Lalu, kenapa bisa itu tidak berlaku bagi Allah.

 

Berkenaan ini, ada sebuah penggalan hasil sekumpulan pertanyaan anak-anak yang diutarakan kepada Grand Syeikh Azhar, Syekh Ahmad Thayyeb. Dalam catatan tersebut, beliau menjelaskan dengan gaya bahasa mudah dicerna mereka yang masih taraf anak-anak. Sebagaimana dikutip oleh Dr. Nuha Abbas dalam Al-Athfal Yasalunal Imam (Kairo, Majmu Azhar Asy-Syarif, 2024: 4)

 

فَوُجُوْدُهُ تعالى لَا يَحْتَاجُ إِلَى مَكَانٍ, لِأَنَّ الّذِيْ يَحْتَاجُ وُجُوْدُهُ إِلَى مَكَانٍ هُوَ الْجِسْمُ (الْمَادَّةُ) وَاللهُ تعالى لَيْسَ بِجِسْمٍ, سبحانَه لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَكُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلَافِ ذَلِكَ

 

Artinya, "Keberadaan Allah itu tidak butuh pada tempat. Karena yang butuh tempat adalah jism (benda/tubuh) sementara Allah bukanlah jism, tidak bisa ditangkap oleh mata. Setiap yang terbesit dalam pikiranmu tentang Allah maka itu bukanlah Allah."


Apa yang dijelaskan oleh Ahmad Thayyeb di atas dapat kita ambil sebagai poin penting dalam menjelaskan kepada anak-anak. Kita bisa mengatakan kepada mereka bahwa apa pun yang terlintas dalam pikiran kita tentang Allah, itu bukanlah hakikat Allah. Jadi, jika kita membayangkan Allah sedang duduk di singgasana seperti halnya para raja, ketahuilah bahwa itu bukanlah Allah.


Allah tidak serupa dengan apa pun dari makhluknya, seperti yang ditegaskan dalam surah Asy-Syura ayat 11:


لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌۚ


Artinya, "Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia."


Oleh karena itu, bayangan apa pun yang muncul tentang Allah tidak akan pernah mampu mendeskripsikan-Nya. Hal ini disebabkan keterbatasan akal kita yang tidak bisa menjangkau hal-hal yang berada di luar batas pemahaman kita.

 

Sekalipun kita berusaha keras untuk mengetahuinya, Allah tetap tidak akan sama atau serupa dengan makhluk-Nya. Keterangan ini sebagaimana dipaparkan oleh Hisyam Al-Kamil dalam At-Taudhihat Al-Jaliyah ‘Ala Matni Kharidatul Bahiyyah, (Darul Manar, 2014: 65).


Untuk memperjelas keterangannya, ketika Allah tidak sama dengan makhluk, maka sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk tidak bisa disematkan kepada Allah. Sebagai contoh, makhluk seperti seorang raja membutuhkan singgasana sebagai tempat duduk. Jika dibayangkan raja itu duduk tanpa singgasana, ia pasti akan jatuh. Hal ini menunjukkan bahwa raja tersebut bergantung pada singgasananya.


Demikian pula dengan kita, yang sedang berdiri di atas tanah. Jika tidak berdiri di tanah, atau jika tanah ini dihilangkan, kita pasti akan jatuh. Jatuh adalah simbol kelemahan, dan kelemahan adalah sifat yang melekat pada makhluk.


Hal seperti ini tidak berlaku bagi Allah, karena Dia berdiri dengan sendirinya (Qiyamuhu bi Nafsihi). Jika Allah membutuhkan tempat atau sesuatu untuk bersandar, maka itu akan menunjukkan kelemahan.

 

Namun, Allah mustahil memiliki sifat lemah, karena jika demikian, bagaimana mungkin Dia bisa mengurus alam semesta ini? Oleh karena itu, pertanyaan tentang "di mana" atau "berapa lama" adalah pertanyaan yang hanya ditujukan kepada makhluk, bukan kepada Sang Maha Pencipta.


Dengan penjelasan ini, jawaban menjadi lebih mudah dipahami oleh anak yang bertanya tentang posisi atau letak Allah. Melalui kaidah bahwa Allah tidak sama dengan makhluk, kita bisa menyampaikan bahwa setiap bayangan atau lintasan pikiran tentang Allah bukanlah hakikat Allah yang sebenarnya.


Ustadz Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam

Baca Juga

Komentar

Baca Juga