Khutbah Jumat: Hindari Pamer Maksiat di Media Sosial
Bagi kita yang memegang teguh ajaran Islam, penting untuk memahami bahwa media sosial adalah sarana yang bisa mendekatkan kita pada kebaikan atau malah memicu fitnah dan dosa. Mari kita renungkan, apakah pantas bagi seorang Muslim yang beriman untuk menampakkan perbuatan yang bertentangan dengan syariat di hadapan jutaan mata, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT?
Naskah khutbah Jumat berikut ini berjudul "Hindari Pamer Maksiat di Media Sosial". Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat!
Khutbah I
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، اَلقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: وَلُوطاً إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمِينَ. أَإِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نادِيكُمُ الْمُنْكَرَ فَما كانَ جَوابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَنْ قالُوا ائْتِنا بِعَذابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ (العنكبوت: ٢٨-٢٩). وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَالتَّابِعِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُصَلُّونَ. اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Media sosial adalah fasilitas interaksi manusia di ruang terbuka yang menghubungkan seseorang dengan orang lain di waktu yang sama, meskipun dengan tempat yang jauh berbeda. Media sosial seharusnya berfungsi dan digunakan untuk membantu manusia dalam melakukan interaksi jarak jauh, akan tetapi sering digunakan juga untuk tujuan yang negatif dengan menyebarkan konten tidak baik yang bermuatan maksiat seperti mempertontonkan aurat. Para konten kreator seakan bangga dan tidak merasa malu dengan perilaku tersebut.
Perilaku ini memang bukan hal yang baru dalam peradaban manusia. Dahulu kala, kaum nabi Luth juga telah melakukan perbuatan keji di ruang terbuka atau tempat perkumpulan mereka. Hal ini diabadikan oleh Allah swt dalam surat Al-‘Ankabut, ayat 28-29:
وَلُوطاً إِذْ قالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِها مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعالَمِينَ. أَإِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجالَ وَتَقْطَعُونَ السَّبِيلَ وَتَأْتُونَ فِي نادِيكُمُ الْمُنْكَرَ فَما كانَ جَوابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَنْ قالُوا ائْتِنا بِعَذابِ اللَّهِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
Artinya: “(Ingatlah) ketika Lut berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kamu benar-benar melakukan perbuatan yang sangat keji (homoseksual) yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu di alam semesta. Pantaskah kamu mendatangi laki-laki (untuk melampiaskan syahwat), menyamun, dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” Maka, jawaban kaumnya tidak lain hanyalah mengatakan, “Datangkanlah kepada kami azab Allah jika engkau termasuk orang-orang benar!”
Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir al-Qur’anil Azhim, juz 6, halaman 249 menjelaskan bahwa mereka tidak merasa malu untuk melakukan perbuatan dan ucapan keji di ruang terbuka atau tempat pertemuan karena tidak ada orang yang mengingkari hal tersebut, bahkan mereka saling mendukung.
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Jika perbuatan keji sudah dianggap menjadi sesuatu yang biasa, bahkan didukung oleh orang lain, maka pelakunya akan merasa bangga seperti yang kita saksikan di media sosial saat ini. Para konten kreator maksiat begitu menikmati dukungan penonton, bahkan mendapatkan keuntungan materi dari dukungan tersebut, padahal kita sudah diingatkan oleh Nabi akan bahaya mengumbar perbuatan dosa dengan penuh kebanggaan. Hal ini ditegaskan Nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, juz 8, halaman 20:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا المُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ المُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلاَنُ، عَمِلْتُ البَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ
Artinya: “Seluruh umatku akan mendapatkan ampunan, kecuali Mujahirin (yaitu orang yang terang-terangan berbuat dosa). Termasuk dari perilaku Mujahirin adalah seseorang yang berbuat dosa di malam hari yang telah ditutupi Allah, kemudian di pagi hari ia berkata kepada orang lain “Wahai fulan, aku telah melakukan ini dan itu di malam hari”. Allah telah menutupi perbuatan dosanya, tetapi ia mengungkapkan apa yang telah ditutupi Allah.”
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Hal ini tidak akan terjadi jika setiap Muslim masih memiliki rasa malu yang dapat mencegahnya dari melakukan perbuatan dosa, sehingga rasa malu dianggap sebagai salah satu indikator keimanan seseorang. Hal ini ditegaskan Nabi dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam kitab Shahihul Bukhari, juz 1, halaman 11:
الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، وَالحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ
Artinya: “Iman memiliki 60 sekian cabang. Rasa malu adalah salah satu cabang iman.”
Rasa malu yang dimaksud dalam hadits ini adalah naluri setiap manusia yang mendorongnya untuk menghindarkan perbuatan yang dapat membuat dirinya tercela. Pada dasarnya, setiap manusia tidak ingin perbuatan dosanya diketahui oleh orang lain. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hal ini dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahihul Buhkari juz 1, halaman 52:
قَوْلُهُ وَالْحَيَاءُ هُوَ بِالْمَدِّ وَهُوَ فِي اللُّغَةِ تَغَيُّرٌ وَانْكِسَارٌ يَعْتَرِي الْإِنْسَانَ مِنْ خَوْفِ مَا يُعَابُ بِهِ... وَفِي الشَّرْعِ خُلُقٌ يَبْعَثُ عَلَى اجْتِنَابِ الْقَبِيحِ وَيَمْنَعُ مِنَ التَّقْصِيرِ فِي حَقِّ ذِي الْحَقِّ
Artinya: “Kata al-Haya’ dibaca panjang huruf Ya’-nya. Dari segi bahasa, malu adalah perubahan yang terlihat dari seseorang karena kekhawatiran akan sesuatu yang dapat mencela dirinya. Menurut agama, malu adalah karakter yang mendorong seseorang untuk meninggalkan sesuatu yang buruk dan dapat mencegah seseorang untuk mengambil hak orang lain.”
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Pemaknaan seperti ini yang sudah berubah di hari ini. Manusia sudah tidak merasa malu dalam melakukan dan menceritakan perbuatan dosa. Manusia malah merasa malu untuk melakukan dan menceritakan kebaikan. Saat ini, kita melihat maksiat lebih banyak dipertontonkan dari pada perbuatan baik. Hal ini ditegaskan imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam lanjutan penjelasan hadits di atas:
وَلَا يُقَالُ رُبَّ حَيَاءٍ يَمْنَعُ عَنْ قَوْلِ الْحَقِّ أَوْ فِعْلِ الْخَيْرِ لِأَنَّ ذَاكَ لَيْسَ شَرْعِيًّا
Artinya: “Rasa malu tidak bisa diartikan malu untuk berucap benar dan berbuat baik karena malu seperti ini bukan rasa malu dalam perspektif agama.”
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Terakhir, imam Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan bahwa rasa malu merupakan faktor internal dalam diri manusia yang dapat mendorong lahirnya cabang iman lainnya. Jika seseorang memiliki rasa malu, maka ia merasa malu jika tidak melaksanakan perintah Allah dan juga merasa malu jika melanggar larangan Allah:
فَإِنْ قِيلَ لِمَ أَفْرَدَهُ بِالذِّكْرِ هُنَا أُجِيبَ بِأَنَّهُ كَالدَّاعِي إِلَى بَاقِي الشُّعَبِ
Artinya: “Jika ada pertanyaan, kenapa hanya malu saja yang disebutkan dalam hadits ini? Jawabannya adalah karena malu merupakan motivasi seseorang mengimplementasikan cabang-cabang iman lainnya.”
Hadirin sidang Jumat yang dirahmati Allah!
Semoga Allah menanamkan dan merawat rasa malu yang ada dalam diri kita semua. Semoga kita semua masih memiliki rasa malu untuk melakukan perbuatan dosa dan menyebarluaskannya, sehingga kita tergolong orang-orang yang masih berpeluang mendapatkan ampunan Allah. Amin, ya Rabbal ‘Alamin.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدِنِ ابْنِ عَبدِ الله وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ القِيَامَة، أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ، أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ المُسلِمُونَ، اِتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَاعلَمُوا إِنَّ اللّٰهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوا وَّالَّذِينَ هُمْ مُّحْسِنُونَ، قَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اَللّٰهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ. اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. اللهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا فِي فَلِسْطِيْن وَلُبْنَان وَسَائِرَ العَالَمِيْنَ. اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ بَلْدَتَنَا اِنْدُونِيْسِيَّا بَلْدَةً طَيِّبَةً وَمُبَارَكَةً وَمُزْدَهِرَةً. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ، إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُم بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر
Ustadz Fatihunnada, Dosen Fakultas Dirasat Islamiyyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Komentar
Posting Komentar