Wali Tujuh: Jejak Cahaya Spiritual di Tanah Maghribi - NU Online

 

Wali Tujuh: Jejak Cahaya Spiritual di Tanah Maghribi

Selasa, 29 Oktober 2024 | 20:21 WIB

Wali Tujuh: Jejak Cahaya Spiritual di Tanah Maghribi

Makam salah satu wali tujuh di Marrakesh, Maroko (Foto: Sunatullah/NU Online)

Sunnatullah

Download PDF

Jika Indonesia memiliki Wali Songo yang menabur benih Islam, maka Maroko memiliki Wali Tujuh yang mengukir jejak spiritual di tanah Maghribi. Seperti cahaya yang menyinari setiap jiwa, para wali ini hadir sebagai lentera bagi umat, menyebarkan kelembutan, hikmah dan cinta Allah. Dakwahnya tidak hanya tentang kata, namun juga keikhlasan yang mengalir, membangun fondasi agama yang mempersatukan hati. Meski terpisah oleh Samudera dan waktu, Wali Songo dan Wali Tujuh adalah saksi dari rahmat yang tanpa batas, pengingat bahwa Islam adalah agama cinta yang mengenal tepi.


Sebuah negeri yang kaya akan tradisi dan warisan intelektual, tempat di mana sinar peradaban Islam menyinari setiap sudut pandang. Negeri itu adalah Maroko. Ya, Maroko telah menjadi saksi bagi para tokoh besar yang meninggalkan jejak abadi; ikhlas tanpa pamrih menjadikan namanya terus dikenang sepanjang sejarah.


Maroko, negeri dengan hamparan keindahan alam yang mempesona, tak hanya tersohor karena pesona pegunungan, atlas dan gurun sahara yang luas, tetapi juga sebagai tempat lahirnya para intelektual besar yang mampu mewarnai peradaban dunia. Di negeri ini, ilmuan seperti Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Ibnu Thufail dan lainnya tumbuh dan mengukir jejak pemikiran yang terus hidup hingga kini, bahkan melampaui ruang dan waktu. Maroko, dengan akar sejarah yang panjang, telah menjadi lumbung ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang filsafat, kedokteran, teologi dan sastra.

Baca Juga

Mengenal Matan al-Ajurumiyah, Kitab Gramatika Arab Sepanjang Masa


Pengaruh intelektual ilmuan negara Maghribi tak hanya berhenti di wilayah Arab. Melalui hubungan dagang dan jaringan akademik yang luas, para cendekiawan Maroko telah menyebarkan pemikiran dan gagasan yang melampaui batas negara dan benua. Pemikiran mereka menjadi inspirasi, mengukuhkan negara yang dikenal matahari terbenam ini sebagai pusat pengetahuan, spiritualitas, kebudayaan (tsaqafah) yang kaya, dan peradaban (hadharah) yang indah. Sejak dulu, negara ini menjadi pertemuan ilmuan Timur dan Barat, tempat gagasan-gagasan besar diramu menjadi satu.


Warisan intelektual Maghribi bukanlah monumen bisu; ia hidup dan berdenyut dalam sanubari generasi muda yang terus haus akan ilmu, menjadikan tradisi belajar sebagai bagian dari identitas. Di sinilah Maroko, tempat lahirnya intelektual hebat, tidak hanya sekadar sejarah tetapi juga masa depan yang dijanjikan dengan ilmu pengetahuan, cinta, spiritual yang tinggi, dan perdamaian.


Di antara nama-nama ilmuan yang memiliki sejarah mentereng tersebut, terdapat tujuh tokoh luar biasa yang dikenal sebagai ar-Rijalus Sab’ah atau Wali Tujuh. Gelar wali yang disematkan kepada tujuh tokoh tersebut tak hanya menunjukkan jumlah mereka, namun lebih dari itu, menandakan keagungan perannya dalam membentuk wajah masyarakat Maghribi.


Wali tujuh bukan sekadar tokoh agama atau ahli ilmu biasa. Mereka adalah pribadi-pribadi yang memiliki kombinasi antara ketekunan dalam ilmu pengetahuan, keikhlasan dalam amal ibadah, serta keberanian dalam memperjuangkan nilai-nilai ajaran Islam. Mereka berdiri di garda depan dalam menyebarkan ilmu agama, membimbing masyarakat, dan mengokohkan fondasi sosial melalui nasihat, kebijaksanaan, dan teladan hidup. Keberadaan mereka tak hanya terbatas pada lingkungan masjid dan lembaga pendidikan, namun juga terasa di medan perjuangan, dalam menghadapi tantangan yang mengancam keutuhan dan kestabilan negeri.


Salah satu keistimewaan ar-rijalus sab’ah adalah kemampuan mereka dalam menjembatani berbagai lapisan masyarakat. Mereka berbicara kepada rakyat biasa, pemimpin, hingga ulama lainnya dengan penuh kerendahan hati, tetapi tetap berwibawa. Dalam berbagai peran yang mereka jalani, wali tujuh ini mengajarkan bahwa ilmu tidak hanya untuk dipahami, tetapi juga harus diamalkan dan disebarkan. Mereka adalah simbol dari integritas dan pengabdian, sosok-sosok yang mengingatkan kita bahwa menjadi seorang pemimpin atau seorang ulama bukanlah tentang posisi, melainkan tentang dedikasi, ketulusan dalam mengabdi dan niat yang tulus nan suci.

Baca Juga

Sungai di Fez Maroko, Saksi Bisu Keberkahan Kitab Al-Ajurrumiah


Perjuangan wali tujuh di Maroko juga mengajarkan nilai pentingnya persatuan dan sinergi. Mereka bukan berdakwah secara individu, tetapi dengan penuh kesadaran, mereka saling mendukung satu sama lain, memahami bahwa kekuatan dalam perubahan sosial terletak pada kebersamaan dan kerja sama. Mereka berjuang bukan demi popularitas atau kehormatan pribadi, melainkan demi maslahat umat, demi keberlangsungan ilmu dan kelestarian nilai-nilai luhur ajaran Islam.


Warisan mereka masih terasa hingga kini, menginspirasi generasi demi generasi yang ingin meneruskan cita-cita luhur para wali tujuh. Sejarah hidup mereka tak lekang oleh waktu, seakan menjadi mercusuar bagi setiap pencari hikmah yang berkelana dalam gelapnya ketidaktahuan. Mereka adalah bukti bahwa integritas, ilmu, dan ketulusan adalah kunci untuk menjadi pribadi yang dapat mengubah masyarakat dan melampaui zamannya.


Dengan demikian, wali tujuh bukan sekadar kisah sejarah, melainkan sebuah inspirasi tak terhingga bagi setiap insan yang ingin mengikuti jejak mereka dalam menjadi pembawa kebaikan dan pengetahuan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dikenal karena pengabdian mereka dalam agama, keilmuan, dan perjuangan sosial. Nama mereka sangat dihormati hingga kini, dengan makam-makam mereka yang sering menjadi tempat ziarah bagi masyarakat Maroko dan para pencari hikmah dari seluruh penjuru dunia.


Berikut adalah nama-nama wali tujuh serta sejarah singkat dari mereka. Para wali yang jejak dan warisannya mengalir dalam kehidupan spiritual bangsa. Nama-namanya bukan sekadar gelar, tetapi simbol perjalanan spiritual yang menerangi jalan bagi generasi demi generasi. Sebagaimana ditulis oleh Syekh Zakaria al-Marakisy dalam Sab’atu Rijalin: Asrarun wa Haqaiqu, halaman 108, berikut nama-nama tersebut:

Baca Juga

Ibnu Batutah: Petualang Legendaris asal Maroko

1. Sidi Yusuf bin Ali
Sidi Yusuf bin Ali adalah salah satu wali yang paling awal dikenal di Marrakesh. Ia hidup dalam penderitaan karena penyakit, namun hal ini tidak memadamkan semangat dan kesungguhannya dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Meski kondisi fisiknya terbatas, ia tetap teguh dalam ibadah dan ketaatan, sehingga ia dikenal sebagai sosok yang sabar, tabah, dan ikhlas. Kisah hidupnya menjadi teladan bagi mereka yang menghadapi cobaan, mengingatkan bahwa kedekatan kepada Allah tidak tergantung pada kondisi fisik. Ia wafat pada tahun 593 H, kemudian dimakamkan di dekat pemakaman Bab Aghmat, Marrakesh Maroko.


2. Imam al-Qadi Iyadh
Imam Qadi Ayyad adalah seorang ulama besar dan hakim terkenal yang dikenal dengan karyanya dalam ilmu hadits dan fikih. Salah satu karya monumentalnya adalah asy-Syifa bi Ta’rif Huquq al-Musthafa, sebuah kitab tentang keutamaan Nabi Muhammad yang hingga kini dikaji dan dijadikan Pelajaran sejarah Rasulullah di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Ia sangat dihormati di dunia Islam. Sebagai seorang qadi (hakim), ia dikenal adil dan bijaksana, selalu menjunjung tinggi keadilan dalam setiap putusan yang diambil. Ketegasannya dalam memegang prinsip dan pengabdian pada ilmu membuatnya menjadi tokoh yang sangat berpengaruh. Ia wafat pada tahun 544 H, kemudian dimakamkan di dekat bab ailan, Marrakesh Maroko.


3. Sidi Abul Abbas as-Sabti
Sidi Abul Abbas adalah wali yang sangat dicintai di Marrakesh, khususnya di kalangan masyarakat miskin dan kaum duafa. Ia terkenal karena kemurahan hatinya dan pengabdiannya dalam membantu orang-orang lemah. Dikenal sebagai “Pelindung Marrakech,” Sidi Abul Abbas mengabdikan hidupnya untuk melayani orang-orang yang membutuhkan, memberikan makanan, pakaian, dan bimbingan kepada mereka. Ia menjadi simbol dari kasih sayang dan kedermawanan, menekankan pentingnya memberikan bantuan bagi sesama. Ia wafat pada tahun 601 H, kemudian dimakamkan di dekat bab Taghzaut, Marrakesh Maroko.


4. Sidi Imam Muhammad Sulaiman al-Jazuli
Sidi Muhammad al-Jazuli adalah seorang ulama besar, penyair, dan sufi yang dikenal dengan karyanya yang paling terkenal, yaitu Dala’il al-Khairat, sebuah kitab Kumpulan shalawat doa yang hingga kini dibaca oleh umat Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Al-Jazuli memainkan peran penting dalam menyebarkan tasawuf dan mengajarkan pentingnya cinta kepada Nabi Muhammad saw. Ia adalah sosok yang berhasil menginspirasi murid-muridnya melalui kehidupan yang sederhana dan penuh ketakwaan, menjadikan dirinya sebagai teladan yang hidup dalam pengabdian dan cinta ilahi. Ia wafat pada tahun 870 H, kemudian dimakamkan di Riyadh al-Arus, Marrakesh Maroko.


5. Sidi Abdullah al-Ghazwani
Sidi Abdullah al-Ghazwani dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki pemahaman mendalam dalam ilmu syariat dan hakikat. Ia adalah sosok yang tenang dan bijaksana, dihormati karena kedalaman ilmu serta kerendahan hatinya. Pengaruhnya yang mendalam di Marrakesh dan sekitarnya menjadikan beliau sebagai tokoh yang disegani, dengan banyak murid yang datang untuk menimba ilmu dan mendapatkan nasihat darinya. Ia wafat pada tahun 935 H, kemudian dimakamkan di Kawasan al-Qushur, Marrakesh Maroko.


6. Sidi Abdul Aziz at-Tabba’
Sidi Abdul Aziz at-Tabba’ adalah seorang sufi dan wali yang terkenal dengan kesalehannya. Ia adalah seorang pengikut dari Sidi Imam Muhammad al-Jazuli dan menjadi bagian penting dalam pengembangan tarekat Jazuliah. Ia dikenal sebagai seorang pembimbing spiritual yang memperhatikan pembentukan akhlak dan pengajaran tauhid yang benar. Keteguhan dan kesederhanaannya menginspirasi banyak orang, terutama dalam mendekatkan diri kepada Allah swt dengan ikhlas dan tanpa pamrih. Ia wafat pada tahun 914 H, kemudian dimakamkan di dekat masjid Ibn Yusuf, Marrakesh Maroko.


7. Sidi Imam as-Suhaili
Sidi as-Suhaili adalah seorang wali yang juga ahli dalam ilmu tasawuf dan ilmu agama lainnya. Beliau hidup di masa yang penuh tantangan, namun dedikasinya dalam menyebarkan ilmu dan kebijaksanaan tetap kukuh. Ia dikenal sebagai sosok yang membimbing masyarakat dengan lembut dan penuh hikmah, menjadi tempat bertanya bagi banyak orang yang membutuhkan pencerahan rohani. Sosoknya menjadi simbol dari kearifan yang terpancar dalam ketenangan dan pengendalian diri. Ia wafat pada tahun 583 H, kemudian dimakamkan di baba ar-Rab, Marrakesh Maroko.


Pengaruh dan Warisan Wali Tujuh di Maroko
Kehidupan dan karya wali tujuh ini meninggalkan pengaruh besar yang masih hidup hingga kini di Maroko, khususnya Marrakesh. Makam mereka telah menjadi tempat ziarah, dihormati sebagai peringatan akan pengabdian mereka yang luar biasa kepada agama, masyarakat, dan ilmu. Keteladanan mereka menjadi inspirasi yang mengajarkan nilai-nilai kearifan, kerendahan hati, keberanian, dan cinta kepada Allah swt dan sesama manusia.

Baca Juga

Catatan Sejarah Pergulatan Negeri Maghribi Maroko dan Andalusia Spanyol


Mereka tidak hanya dihormati sebagai wali, tetapi juga sebagai pilar yang menguatkan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat. Mereka menunjukkan bahwa kebesaran seseorang tidak diukur dari jabatan atau kekayaan, tetapi dari ketulusan hati dan dedikasinya dalam menjalani kehidupan dengan niat yang benar, semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan memberi manfaat bagi orang lain. Wallahu a’lam.


Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.
 

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga