Dinasti Rustumiyah: Keimaman Khawarij-Ibadliyyah, Sempalan Dinasti Abbasiyah
Wilayah Imperium Dinasti Abbasiyah (750-1258 H/1261-1517 M) begitu luas. Daerah yang dikuasi para keturunan Abbas bin Abdil Muthallib meliputi wilayah modern Asia Barat, Asia Selatan, Afrika Utara, bahkan menjangkau Eropa. Fakta ini melahirkan kesulitan sendiri dalam menjaga kedaulatannya. Kesulitan itu semakin bertambah dengan munculnya masalah-masalah internal imperium yang beribukota di Baghdad ini. Salah satu masalah internal yang muncul adalah lemahnya pengaruh raja-raja Abbasiyah.
Melemahnya keluarga Abbas terjadi seiring dengan dominasi orang-orang Turki dalam pemerintahan. Semua berawal dari kebijakan Khalifah al-Mu’tashim billah (berkuasa 218-227 H/833-842 M), yang mempekerjakan mantan budak Turki untuk membantu menjalankan roda pemerintahan. Seiring berjalannya waktu, para pendatang ini mulai menduduki jabatan-jabatan strategis dan membangun pengaruh yang kuat terhadap khalifah.
Melemahnya figur khalifah, membuat wilayah Abbasiyah tak terkontrol dengan baik. Banyak pemimpin lokal yang mendeklarasikan kemerdekaan dan menjadi kerajaan tersendiri. Raja-raja Abbasiyah pasca-infiltrasi orang-orang Turki tak bisa berbuat banyak karena tidak lagi punya kuasa. Mereka seperti boneka yang dikendalikan pemiliknya, yaitu elit Turki. (Raghib al-Sirjani, al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Tarikh al-Islami, [Kairo, Iqra’:2014], Jilid I, hal. 318).
Negeri sempalan di Afrika utara
Salah satu negara sempalan yang berdiri adalah Keimaman Dinasti Rustamiyah. Dinasti ini didirikan pada 162 H oleh Abdurrahman bin Rustum bin Bahram. Bahram yang merupakan seorang berkebangsaan Persia dan mantan budak Khalifah Utsman bin Affan. Pendiri dinasti ini dipercaya sebagai salah satu keturunan dari Rustum Rarakhzad, seorang panglima perang Kekaisaran Sasanid Persia saat melawan tentara muslim di Perang Qadisiyyah (636 M/15 H).
Pada puncak kejayaannya, daerah kekuasaan keimaman dengan ibukota Tiaret (Aljazair) ini mencakup wilayah modern Aljazair tengah dan barat, Tunisia selatan, dan sebagian wilayah Libya. (Michael Brett, Approaching African History, [Boydell & Brewer, 2013], hal.154)
Negeri teokrasi yang dihuni mayoritas kaum Khawarij-Ibadli ini eksis selama kurang lebih 135 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, keimaman dipimpin oleh delapan imam, yaitu Abdurrahman bin Rustum bin Bahram (162-171 H), Abdul Wahhab bin Abdurrahman (171-208 H), Aflah bin Abdilwahhab (208-258 H), Abu Bakr bin Aflah (258-260 H), Muhammad Abu Yaqdhan bin Aflah (260-297 H),Yusuf Abu Hatim bin Muhammad (281-282 H dan 286-294 H) dan Yaqdhan bin Muhammad (294-297 H). (Raghib al-Sirjani, al-Mawsu’ah al-Muyassarah ..., hal. 318).
Sejarah berdirinya Keimaman Rustumiyah tidak bisa dipisahkan dari penyebaran paham Ibadliyah. Paham ini dibawa oleh Salma bin Sa’d dari Basrah ke Afrika Utara pada 719 M berkat jerih payahnya. Pada tahun 740 M, mayoritas Suku Huwara (suku hasil asimilasi orang Barbar dan Arab) di Tripoli dan Zenata memeluk paham Ibadliyyah (Jamil Abu Nashr, A history of the Maghrib in the Islamic Period, [Cambridge, Cambridge University Press: t.t], hal.37-38).
Berbekal pengikut yang dirasa sudah cukup, Abdurrahman bin Rustum dan tiga imam Ibadliyyah lain memproklamasikan berdirinya Keimaman Ibadliyyah di Tripoli, ibukota Libya modern. Merasa salah satu daerah kekuasaannya memisahkan diri, Baghdad yang kala itu masih punya taring, tentu tak tinggal diam. Dipimpin Muhammad bin al-Asy’ats al-Khuza’i, tentara Abbasiyah menggempur keimaman yang baru berdiri pada 761 M itu.
Imam pertama Keimaman Tripoli, Abu al-Khattab Abdul A’la bin as-Samh gugur dalam gempuran tersebut. Suksesornya, Abul Hatim al-Malzuzi juga gugur dalam revolusi melawan Rezim Abbasiyah pada 768 M (Jamil Abu-Nashr, A history of the Maghrib..., hal.41 dan 43).
Abdurrahman bin Rustum dibai’at menjadi Imam ke-3 Keimaman Tripoli pada 777 M/162 H. Ia memindahkan pusat pemerintahan ke Tiaret, Aljazair. Pada perjalanannya, Abdurrahman mewariskan kepemimpinannya pada anak-cucunya. Maka dari itu, keimaman di Afrika Utara ini juga disebut sebagai dinasti.
Keimaman yang tampil dengan wajah baru terbantu dengan imigrasi suku-suku penganut sekte Ibadli di Tripoli dan Tunisia ke Tiaret. Mereka membangun benteng-benteng guna menjaga keamanan keimaman yang baru terlahir kembali. Selanjutnya, Tiaret berkembang menjadi jalur perdagangan baru yang menghubungkan Sub-Sahara Afrika dan Timur-Tengah (Jamil Abu-Nashr, A history of the Maghrib..., hal.45).
Perebutan kekuasaan sempat mewarnai negara sempalan Abbasiyah ini. Imam keempat, Abu Bakr bin Aflah dihantui rasa was-was. Pasalnya, ia yang lebih muda menjabat sebagai Imam mendahului kakaknya, Muhammad. Abu Bakr melancarkan operasi senyap untuk membunuh kakaknya itu. Upaya ini sia-sia, operasi ini justru menimbulkan perlawanan dari rakyatnya sendiri. Rakyat mengobarkan pemberontakan yang memakzulkan sekaligus membunuh Abu Bakr. (Ingrid Mattson, Religion and Representation: Islam and Democracy, [Cambridge: Cambridge Scholar Publishing], hal. 113).
Menjadi Baghdad ‘Mini’
Kendati berstatus sebagai negara teokrasi Khawarij-Ibadli, Keimaman Dinasti Rustumiyyah merupakan negeri yang kosmopolitan. Di sana tinggal juga kaum muslimin dari berbagai sekte dan aliran, bahkan agama dengan damai. (John Entelis, Algeria: The Revolution Instituonalized, hal.14).
Dalam tradisi Ibadli, seorang imam atau pemimpin negara tidak harus seorang berkebangsaan Quraisy. Imam dalam negara Ibadli boleh berasal dari bangsa atau suku mana pun. Yang terpenting, ia haruslah mempunyai keilmuan yang mendalam dalam bidang hukum Islam dan perang. Hal ini yang meligitimasi Abdurrahman bin Rustum, seorang Persia naik tahta sebagai imam.
Syarat ini benar-benar terpenuhi, para imam Dinasti Ibadliyyah mempunyai pengetahuan tentang agama yang mendalam. Imam pertama, Abdurrahman bin Rustum adalah seorang da’i Ibadli yang diutus dari Basrah untuk menyebarkan ‘Ibadliyah di Afrika Utara. Imam kedua, Abdul Wahhab bin Abdurrahman menulis Masail al-Nufusah yang membahas tentang masalah-masalah terkait Ilmu Fikih. Imam ketiga, Aflah menguasai dengan baik Ilmu sastra Arab, matematika, dan astronomi. Imam kelima, Muhammad Abu Yahdhan menulis 40 karya tulis dalam pelbagai bidang.
Dengan semangat keilmuannya yang membara, Keimaman Rustumiyah berjasa dalam mentransmisikan keilmuan di Dunia Islam Timur ke Dunia Islam Barat. Prestasi ini disokong oleh perpustakaan al-Ma’syumah di Tahert dan Khizanah Nafusah di pengunungan Nafusah.
Hal ini juga yang mengantarkan Keimaman Dinasti Rustumiyyah mendapat titel-titel yang disandarkan pada kota-kota pusat peradaban Islam di Dunia Islam Timur seperti ‘Baghdad Mini,’ ‘Baghdad-nya Barat,’ ‘Balkh-Barat’ atau ‘Basrah Mini’. (Ahmad Choirul Rofiq, Moderation and Civilization: A Historical Analysis on the Moderate Policy of the Rustamid Dinasty, [Ponorogo, ARTIST: 2018,] hal.384).
Islamisasi Maroko dan Sudan
Seperti yang disampaikan sebelumnya, Keimaman Dinasti Rustumiyah menjadi jalur baru dalam perdagangan yang menghubungkan Sub-Sahara Afrika dan Timur Tengah. Hal ini menjadikan mereka penguasa jalur dagang di Maroko dan Sudan. Banyak saudagar asal Rustumiyah yang mengadakan perjalanan dagang ke Tahert, Ghana, Gao, Wargla, Nafzawa, Tadmakkat, dan Pegunungan Nafusah.
Seperti kata peribahasa, ‘menyelam sambil minum air,’ para saudagar ini memanfaatkan perjalanan dagang tersebut sebagai momentum untuk menyebarkan Islam di wilayah-wilayah yang mereka singgahi. Aktivitas ini berlangsung kurang lebih selama dua abad, 130-340 H/750-950 M (Ahmad Choirul Rofiq, Moderation and Civilization..., hal. 384)
Sepeninggal Imam Abdul Wahhab, kekuatan militer Dinasti Rustumiyah melemah. Titik nadir dari negeri kaum Khawarij ini terjadi kala wilayah orang-orang Khawarij moderat ini ditaklukkan oleh tentara Dinasti Fatimiyyah pada 909 M/297 H. Serangan yang dipimpin oleh Abu Abdillah al-Syi’i ini memaksa orang-orang Ibadli kabur ke Ouargla, sebuah daerah padang pasir yang berada di bagian selatan Aljazair modern (Jamil Abu-Nashr, A history of the Maghrib..., hal.45).
Dengan demikian, Dinasti Rustumiyah memegang peran penting dalam sejarah perkembangan Islam, khususnya di wilayah Afrika Utara, baik dalam aspek keilmuan, sosial, maupun ekonomi. Meskipun lahir sebagai sempalan dari Dinasti Abbasiyah, Rustumiyah berhasil mempertahankan identitasnya yang unik sebagai negara teokrasi Ibadli. Wallahu a‘lam.
Rifqi Iman Salafi, alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat.
Komentar
Posting Komentar