Rasionalisasi Mahram Saudara Sepersusuan - NU Online

 

Rasionalisasi Mahram Saudara Sepersusuan

Al-Qur'an secara tegas menyebutkan perempuan yang haram dinikah, tepatnya pada surat an-Nisa ayat 23. Dalam ayat ini Allah menetapkan keharaman menikahi perempuan-perempuan yang masih satu nasab, yaitu ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan ayah, saudara perempuan ibu, anak perempuan dari saudara laki-laki, dan anak perempuan dari saudara perempuan.
 

Selain haram menikahi 7 perempuan dari jalur nasab tersebut, Islam juga mengharamkan 7 perempuan yang sama sebab persusuan atau biasa disebut dengan radha'ah.
 

Secara umum, baik dari segi medis maupun etika sosial dan hukum, pernikahan antarsaudara kandung (inses) dilarang di banyak negara dan budaya untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi mendatang.
 

Sebab, menikahi saudara kandung dapat meningkatkan risiko gangguan genetik atau cacat bawaan pada keturunan menjadi lebih tinggi. Ini terjadi karena saudara kandung memiliki banyak kesamaan gen, termasuk gen yang mungkin membawa mutasi atau kelainan genetik.
 

Namun demikian, bagaiman rasionalisasi pelarangan Islam terhadap pernikahan antara saudara sepersusuan yang notabene adalah orang lain sebelum menjadi saudara sepersusuan? 
 

Dalam al-Qur'an Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:
 

وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ
 

Artinya, "Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan." (QS An-Nisa': 23).
 

Terkait penjelasan ayat, Syekh Ali As-Shabuni mengatakan bahwa Allah menetapkan hukum mengenai hubungan sepersusuan yang setara dengan hubungan darah, hingga Allah menyebut ibu yang menyusui sebagai ibu bagi anak yang disusuinya.
 

"Jadi, seperti halnya ibu kandung yang melahirkanmu haram bagimu untuk dinikahi, demikian pula ibu yang menyusuimu menjadi haram bagimu. Demikian juga saudara perempuan sepersusuan, sebagaimana saudara perempuan kandung juga haram dinikahi.
 

Ayat ini menyebutkan bahwa dari hubungan sepersusuan, yang diharamkan hanya ibu yang menyusui dan saudara perempuan sepersusuan. Namun, Hadits Nabi Muhammad saw menjelaskan lebih lanjut bahwa ada tujuh golongan yang diharamkan karena sepersusuan." (Shafwatut Tafasir, juz I, halaman 246).
 

Berdasarkan ayat dan penjelasan di atas dapat disimpulkan, ibu yang menyusui dan saudara sepersusuan hukumnya sama dengan ibu dan saudara kandung dalam hal keharaman dinikah, dan berimplikasi hukum syariat lainnya, seperti tidak membatalkan wudhu bila bersentuhan, kebolehan memandang, berkhalwat, dan bepergian bersamanya. Namun, tidak dalam hal saling mewarisi dan kewajiban memberi nafkah. (Abul Hasan Ali bin Muhammad Al-Khazin, Lubabut Ta'wil fi Ma'ani Tanzil, [Beirut, Darul Kutub Ilmiyah: 1415 H], juz I, halaman 359).
 

Adapun hikmah diharamkan sebab persusuan adalah sebagaimana penjelasan Syekh Wahbah Az-Zuhaili:
 

حكمة التحريم بالرضاع: يحدث التحريم بالرضاع بسبب تكوّن أجزاء البنية الإنسانية من اللبن، فلبن المرأة ينبت لحم الرضيع، وينشز عظمه أي يكبر حجمه، كما جاء في الحديث: «لا رضاع إلا ما أنشز العظم، وأنبت اللحم» فإن إنشاز العظم، وإنبات اللحم، إنما يكون لمن كان غذاؤه اللبن، وبه تصبح المرضع أما ً للرضيع؛ لأنه جزء منها حقيقة

Artinya, "Hikmah di balik pengharaman karena persusuan adalah karena terbentuknya sebagian struktur tubuh manusia dari susu tersebut. Susu wanita menumbuhkan daging bayi yang disusuinya dan menjadikan tulangnya tumbuh besar, seperti yang disebutkan dalam hadits: "Tidak ada persusuan kecuali yang menumbuhkan tulang dan menumbuhkan daging."
 

Karenanya, penumbuhan tulang dan daging terjadi bagi mereka yang makanannya adalah susu. Dengan demikian, wanita yang menyusui menjadi ibu bagi bayi yang disusuinya, karena bayi tersebut secara hakikat menjadi bagian dari dirinya." (Al-Fiqhul Islami wa Adilatuh, [Damaskus, Darul Fikr: 1418 H], juz IX, halaman 6640).
 

Penjelasan ini hanya berfokus kepada ibu yang menyusui, tidak menjelaskan hikmah di balik keharaman menikahi saudara sepersusuan. Ayat dan penjelasan ulama hanya menetapkan keharaman menikahi saudara sepersusuan sebagaimana saudara kandung sendiri.
 

Satu prinsip yang harus diyakini bahwa syariat yang ditetapkan Allah pasti mengandung kemaslahatan bagi umat manusia baik sudah terbukti secara sains ataupun belum. Larangan menikahi saudara sepersusuan harus diyakini mengandung kemaslahatan untuk manusia baik terbukti secara sains ataupun tidak. 
 

Sebagaimana larangan menikahi saudara sedarah karena terbukti dapat meningkatkan risiko gangguan genetik atau cacat bawaan pada keturunan, ternyata menikahi saudara sepersusuan juga mempunyai resiko yang sama.
 

Dalam jurnal yang ditulis Li'izza Diana Manzil dengan judul 'Urgensi Ilmu Kedokteran Islam dengan Hukum Islam: Studi Identifikasi Deoxrybo Nucleid Acid (DNA) Terhadap Sepersusuan' (vol. 18 No.1 Juni (2018), halaman 93) dijelaskan:
 

"Berbagai penelitian mengungkap bahwa dalam Air Susu Ibu (ASI) orang yang menyusui terdapat unsur gen. Implikasi pada yang disusui adalah terbentuknya organ-organ pelindung jika dilakukan antara 3 hingga 5 susuan. Dengan demikian hal ini akan membawa sifat khusus si ibu susuan (pemilik ASI) dan saudara sepersusuan lain.
 

Pendapat dr. Jamaluddin Ibrahim mengatakan bahwa ASI terdiri dari sel-sel induk yang membawa sifat genetik umum untuk ayah dan ibu. Sifat-sifat genetik itu akan berpindah pada anak yang menyusu pada ibu tersebut. Fakta ilmiah inilah yang menguatkan larangan untuk menikahi saudara sepersusuan. Karena apabila perkawinan sepersusuan dilakukan akan berpotensi membuahkan kerentanan atau ketidakseimbangan dalam sistem kekebalan tubuh si bayi serta penyakit genetik serius lainnya."
 

 

Dengan demikian, larangan pernikahan sepersusuan memiliki bukti ilmiah yaitu untuk menghindari keturunan yang cacat sebagaimana larangan inses. Hal ini sebab ASI yang disusukan itu membawa gen dan sel-sel induk yang membawa sifat genetik. Sifat-sifat genetik itu akan berpindah pada anak yang menyusu pada ibu tersebut. Implikasinya anak yang disusui mempunyai sifat-sifat genetik yang sama dengan anak kandung ibu yang menyusui. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Muhamad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo

Baca Juga

Komentar

Baca Juga