“Piagam Ahli Kiblat” Harus Efektif, Umat Islam Wajib Mengawal - Sanadmedia

 

“Piagam Ahli Kiblat” Harus Efektif, Umat Islam Wajib Mengawal

Diakui atau tidak, perang di Gaza kemarin bukanlah perang antara Israel dengan negara-negara koalisi Islam seperti pada tahun 1973, melainkan Israel head-to-head dengan Iran dan sederet koalisinya.

Lalu di mana negara Islam lainnya? Di meja diskusi, di ruang-ruang konferensi, di hotel-hotel mewah, melihat dari kejauhan dan sesekali turun ke jalan memberikan dukungan berbentuk poster penolakan: Israel Go To Hell!

Potret macam ini tidak membuat negara-negara Islam merasa malu, lalu melakukan inisiatif konkret untuk setidaknya menguatkan mental Iran. Meski begitu, Al Azhar tidak dalam arus yang sama. Grand Syekh Al-Azhar Ahmad El Tayeb merasakan betul, apa yang dirasakan Iran, sebagai negara yang babak belur memperjuangkan Gaza sendirian.

Keresahan Grand Syekh itu dituangkan dengan mengajukan inisiatif berupa “Piagam Ahli Kiblat” yang disampaikan pada pembukaan The Intra-Islamic Dialogue Conference di Bahrain pada 18 Februari 2025.

El Tayeb mengutip sebuah hadis Nabi, “Siapapun yang shalat seperti kita, menghadap kiblat yang sama seperti kita, dan memakan binatang kurban yang sama, maka dia adalah seorang muslim yang berada dalam lindungan Allah.”

Harus diakui juga bahwa perbedaan mazhab, aliran, sekte, dan sejenisnya itu menjadi penghambat terbesar umat Islam dalam mencapai tujuan besar bersama. Padahal kita semua menyadari bahwa semua itu hanyalah tafsir yang bisa benar atau salah. Rasanya, inisiatif itu muncul karena landasan persatuan antar-umat Islam tanpa sekat sektarian.

15 Abad Konflik Sesama Ahli Kiblat

Pembunuhan paling bersejarah dalam umat Islam adalah ketika Sayyidina Husain dipenggal gara-gara perbedaan pandangan politik dengan rivalnya saat itu. Sejarah ini melandasi kelahiran sektarian dalam tubuh Islam dan sayangnya terus menjadi pokok perpecahan politik hingga kini.

Ketegangan antara Sunni dan Syiah harus diakhiri sekarang juga, karena sering digunakan untuk mengalihkan perhatian umat dari persoalan sosial-ekonomi yang lebih mendesak. Konflik ini lebih banyak menginspirasi kekerasan, penghancuran, dan penderitaan karena itu, ketegangan ini jelas tidak relevan dengan ajaran Islam yang mengutamakan persatuan, perdamaian, dan keadilan.

Konflik Sunni-Syiah di zaman modern saja, sebut saja mulai dari perang Iran-Irak pada periode 1980-1988, tercatat lebih dari 1 juta orang tewas. Disusul dengan konflik ISIS di Suriah, Bahrain dan di Pakistan, mungkin jumlahnya mencapai 3 juta jiwa.

Baca juga: 8 Poin Penting Pidato Grand Syekh Al-Azhar dalam Konferensi Dialog Intra-Islam Bahrain

Belum lagi dampak kemanusiaan yang terjadi di Yaman akibat perbedaan sekte itu, tercatat lebih dari 22 juta warga harus kehilangan tempat tinggal dan harus mencari kehidupan di tempat lain.

Konflik Sunni-Syiah ini sudah berlangsung sejak abad ke-7, yaitu konflik antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah dan belum juga benar-benar selesai hingga saat ini. Kiranya rentang waktu 15 abat itu harus menjadi pelajaran yang berarti bagi umat Islam.

Konflik berkepanjangan ini membuat umat Islam merugi dua kali: merugi karena tidak juga beranjak dari keterpurukan lantaran sibuk dengan sektenya masing-masing, dan kedua menguntungkan musuh karena mereka lebih mudah melawan musuh yang tidak bersatu.

Untuk itu, inisiatif Grand Syekh Al Azhar harus dikawal dengan sekuat tenaga. Pemimpin-pemimpin negara, lembaga dan institusi keislaman wajib menghilangkan ego sektarian demi menggapai tujuan yang lebih besar. Keterpurukan umat Islam ini sudah sangat memprihatinkan, hampir di setiap lini kehidupan kalah dengan Barat.

Jika negara-negara Islam bersatu, punya persepsi kemajuan yang sama, dan bahu-membahu saling menolong seperti yang diinginkan Grand Syekh, maka akan ada kekuatan dunia baru dengan nilai ekonomi sebesar 5 triliun dolar, atau setara ekonomi Eropa dan China.

Selain itu, akan tercipta kekuatan geopolitik baru yang punya pengaruh besar terhadap keputusan politik yang dapat mengendalikan energi, lingkungan dan keamanan dunia. Sehingga kita tak lagi bergantung dengan Barat.

Mungkin ini terkesan utopis, mengingat fitrahnya negara adalah ingin menjadi paling dominan atas negara lain. Tetapi, niat baik dan keinginan mulia dari seorang Grand Syekh Al Azhar patut kita kawal dan perjuangkan bersama.

  • Erik Erfinanto

    Part-time writer, serious reader, full-time editor. Loving books, movies, history and math. Living in Jakarta now.

Baca Juga

Komentar

 Pusatin9 


 Postingan Lainnya 

Baca Juga