Mengenal Lebih Dekat Lokasi dan Syariat Mabit di Muzdalifah - NU Online

 

Mengenal Lebih Dekat Lokasi dan Syariat Mabit di Muzdalifah



  • Abdul Muiz Ali

Muzdalifah daerah terbuka dimana posisinya terletak antara Makkah dan Mina. Luas Muzdalifah sekitar 12,25 km² dan berdekatan dengan wadi atau lembah Muhassir. Wadi Muhassir yang tidak termasuk area Muzdalifah ini terletak diantara Mina dan Makkah. Dalam sejarah disebutkan, area lembah Muhassir merupakan tempat dimana Allah meluluhlantakkan pasukan bergajah raja Abrahah ketika hendak menghancurkan Kakbah.

Secara bahasa Muzdalifah menunjukan makna al-izdilaf yang artinya ijtima; berkumpul. Jadi kata Muzdalifah itu artinya at-tajammu' atau al-iltiqa'; berkumpul atau bertemu.
 

Alasan lain kenapa Muzdalifah diartikan berkumpul, karena ditempat itu jemaah haji disunahkan mengumpulkan/menjama' dua shalat Maghrib dengan Isya'. Ada yang menyebutkan, disebut Muzdalifah yang artinya berkumpul atau bertemu karena ditempat itulah Nabi Adam bertemu dengan Sayyidatuna Hawa 'alaihimas alam.

Kata Muzdalifah yang memiliki arti bertemu atau berkumpul tersadur dari firman Allah Subhanahu Wata'ala:

وَاَزْلَفْنَا ثَمَّ الْاٰخَرِيْنَ 
 

Artinya, "Dan di sanalah Kami dekatkan golongan yang lain". (QS. Asy-Syu'ara: 64)

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَ
 

Artinya, "Dan (di hari itu) didekatkanlah surga kepada orang-orang yang bertakwa". (QS. Asy-syu'ara: 90).

Kawasan Muzdalifah termasuk maysaril haram sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Ditempat ini para jemaah haji dianjurkan memperbanyak dzikir, doa dan bermunajat kepada Allah.

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَٰتٍ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ 
 

Artinya, "Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam" (QS. Al-Baqarah: 198).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
 

وَوَقَفْتُ هَاهُنَا، وَجَمْعٌ كُلُّهَا مَوْقِفٌ

Artinya, “Aku wuquf (berdiam diri) di sini (salah satu tempat di Muzdalifah dan Jamuun (yaitu Muzdalifah) seluruhnya adalah tempat wuquf”. (HR Muslim).

Pada malam tanggal 10 Dzulhijjah jemaah haji dari belahan dunia bertemu dan berkumpul kembali di Muzdalifah, setelah sebelumnya mereka mereka saling mengenal di tanah Arafah.
 

Secara filosofis, rangkaian ibadah haji berupa wukuf di Arofah pada tanggal Dzulhijjah kemudian mabit di Muzdalifah pada tanggal malam 10 Dzulhijjah dapat diartikan cerminan dari pentingnya bagi umat Islam untuk saling mengenal (arofah),  kemudian saling berkumpul (muzdalifah), dan selanjutnya  sama-sama tenggelam hanyut dalam kontemplasi dzikir dan munajat mereka kepada Allah subhanahu wata'ala

Syariat Mabit di Muzdalifah

Kawasan Muzdalifah termasuk maysaril haram sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an.

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَٰتٍ فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ عِندَ ٱلْمَشْعَرِ ٱلْحَرَامِ 
 

Artinya, "Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'aril Haram". (QS. Al-Baqarah: 198).

Mabit di Muzdalifah termasuk amalan haji yang tidak boleh ditinggalkan. Waktu mabit atau wukuf di Muzdalifah dimulai dari awal malam hari tanggal 10 Zulhijjah hingga terbit fajar. Terdapat ragam pendapat ulama tentang hukum mabit di Muzdalifah. Jumhur ulama mengatakan mabit di Muzdalifah hukumnya wajib. Maka jamaah haji yang tidak Mabit di Muzdalifah terkena kewajiban dam. Sebagian ulama lain mengatakan bukan wajib haji melainkan rukun haji, dan sebagian ulama lain ada yang berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya sunah.
 

Dalam kondisi normal mabit di Muzdalifah dapat dilakukan dengan memperbanyak dzikir, baca Al-Qur'an, tadabur, shalat tahajud, witir dan doa. Setelah masuk waktu subuh ia melanjutkan kewajiban haji berikutnya menuju Mina untuk melempar jamrah atau melakukan thawaf Ifadah.
 

وَثَانِيْهَا (مَبِيْتٌ بِمُزْدَلِفَةَ) وَالْوَاجِبُ فِيْهِ لَحْظَةٌ مِنَ النِّصْفِ الثَّانِي مِنَ اللَّيْلِ
 

Artinya, "Yang kedua dari wajib haji adalah mabit (bermalam) di Muzdalifah. Kewajiban mabit di tempat tersebut cukup sesaat (sebentar) dari sebagian waktu setelah tengah malam." (Nawawi Al-​​​B​​​antani, Nihayatuz Zain Syarh Qurratul ‘Ain, halaman 192).

Dalam kitab Syarhul Jami' li Ahkamil Umrah wal Hajji waz Ziarah halaman 9 disebutkan:
 

وقال الشافعية والحنابلة: يجب الوجود بمزدلفة بعد نصف الليل ولو ساعة لطيفة، فلابد أن يكون الحاج في النصف الثاني من الليل موجوداً في هذا المكان ولو بعضاً من الوقت فيه

Artinya, "Ulama kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah berkata, bagi jemaah haji wajib ada di Muzdalifah setelah masuk pertengahan malam sekalipun hanya diam dalam waktu yang sebentar".

Dalam kondisi tidak normal seperti uzur sakit, risiko tinggi, lanjut usia, berdesakanya jemaah yang berpotensi menyebabkan terganggunya keselamatan jiwa atau kondisi sulit (dharurat/masyaqqah), atau ia punya tugas untuk kepentingan jemaah haji, maka mereka mendapatkan keringanan (rukhshah) boleh tidak mabit di Muzdalifah, atau tetap memilih mabit tetapi dengan waktu yang sebentar.
 

أما من ترك المبيت بمزدلفة ومنى لعذر كمن وصل إلى عرفة ليلة النحر واشتغل بالوقوف عن مبيت مزدلفة فلا شيء عليه وكذا لو أفاض من عرفة إلى مكة وطاف للإفاضة بعد نصف الليل ففاته المبيت فقال القفال لا شيء عليه لاشتغاله بالطواف 
 

Artinya, Jamaah haji yang meninggalkan mabit di Muzdalifah dan Mina karena uzur seperti orang yang tiba di Arafah pada malam Nahar (10 Dzulhijjah) dan sibuk wukuf daripada mabit di Muzdalifah, maka tidak ada kewajiban apapun baginya. Demikian juga ketika ia bergeser dari Arafah ke Makkah, lalu tawaf ifadhah setelah tengah malam, maka luput baginya mabit. Imam Al-Qaffal berkata, tidak ada kewajiban apapun bagi jamaah haji tersebut karena telah sibuk tawaf,” (Al-Hishni, Kifayatul Akhyar, juz I, halaman 184).

Dalam keputusan Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta' Al-Misri) disebutkan, diperbolehkan tidak Mabit di Muzdalifah karena pertimbangan khawatir berdesakan. 
 

Dengan alasan tersebut Syeikh Dr Syauqi Allam, mufti Republik Agung Mesir menguatkan, bolehnya tidak Mabit di Muzdalifah mendasari pada pendapat beberapa ulama dari kalangan Syafi'iyah dan Hanabilah. Keputusan Darul Ifta' Al-Misri yang memperbolehkan tidak Mabit di Muzdalifah karena dua alasan: 
 

Pertama, mengambil pendapat ulama yang mengatakan bahwa hukum mabit itu sunah sebagaimana dijelaskan oleh Imam Syafi dalam kitab Al-Um, kitab Al-Imla' dan sebagian pendapat dari Imam Ahmad.
 

Kedua, karena mempertimbangkan keselamatan jiwa (hifzun nafsi). Menjaga keselamatan jiwa pada saat jemaah haji saling berdesakan termasuk uzur yang diperbolehkan meninggalkan mabit di Muzdalifah. Wallahu a'lam.

Ustadz Abdul Muiz Ali, Petugas PPIH Arab Saudi, Pengurus Lembaga Dakwah PBNU dan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI

Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

Baca Juga

Komentar

Baca Juga